JAKARTA, KOMPAS.com - Istilah penelitian khusus (Litsus) yang mashyur di era Orde Baru kini kembali populer usai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo melontarkannya.
Tjahjo melontarkan istilah Litsus untuk mengomentari tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status kepegawaian para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi ASN.
Menurut Tjahjo, TWK yang menyebabkan tak lolosnya 75 pegawai KPK tak ubahnya seperti Litsus yang dulu pernah ada untuk melakukan penyaringan para PNS dan pejabat publik di rezim Orde Baru di bawah kuasa Soeharto.
Baca juga: Menpan-RB Anggap TWK seperti Litsus, Guru Besar FH UGM Khawatirkan Pembunuhan Karakter
"Zaman saya litsus tahun 85 mau masuk anggota DPR itu, dulu kan fokus PKI, sekarang kan secara luas secara kompleks," ujar Tjahjo.
"Dari sisi aturan itu, saya kira Pak Syamsul yang pernah jadi panitia litsus dulu dan sebagainya, Pak Cornelis yang dari bawah, sama plek aturannya," kata dia melanjutkan.
Dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 2 September 1991, istilah Litsus mulai dikenal sejak 17 April 1990, menyusul dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No.16 tahun 1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia.
Keputusan tersebut merupakan pengganti Keppres No. 300 tahun 1968 tentang Penertiban dan Pembersihan Personil Aparatur Negara/Pemerintah yang berhubungan dengan G30S/PKI.
Istilah penertiban dan pembersihan personil yang lazin disebut dengan istilah skrining, dalam Keppres Nomer 16 Tahun 1990 berubah menjadi penelitian khusus, disingkat Litsus.
Berdasarkan Keppres No. 300 Tahun 1968 tersebut, penanganan skrining dipertanggungjawabkan pada Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Namun melalui Keppres No. 29 Tahun 1988, maka keputusan Presiden tentang Kopkamtib dinyatakan dicabut. Sedangkan pelaksanaan penelitian khusus terhadap pejabat negara, diatur oleh Panglima ABRI, selaku Ketua Bakorstanas.
Salah satu bagian Keppres tersebut menjelaskan bahwa ketentuan penelitian khusus ini berlaku pula bagi penyaringan atau usul pengangkatan pejabat negara dan pegawai badan usaha tertentu milik negara atau daerah.
Karena itu lah Litsus juga dikenal sebagai metode penyaringan yang digunakan pemerintah di era Orde Baru, untuk menyeleksi para pegawai dan pejabat publik dari para eks anggota dan keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di bawah kuasa Presiden Soeharto, eks anggota PKI dan keluarganya dianggap sebagai musuh negara. Adapun Litsus terdiri dari dua tahap yakni menjawab pertanyaan lisan dan wawancara tatap muka.
Baca juga: Saat Menpan-RB Tjahjo Kumolo Samakan TWK KPK dengan Litsus Era Orba
Merespons sikap Tjahji yang menyamakan TWK dengan Litsus, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto mengatakan, metode tersebut digunakan oleh Orde Baru untuk mengeluarkan warga yang dianggap tidak sejalan dengan penguasa.
"Orde Baru, menerapkan kebijakan litsus dan saringan bersih lingkungan untuk mengeksklusi (mengeluarkan) warga bangsa yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak penguasa dan menyingkirkan siapa saja yang dianggap potensial sebagai ancaman terhadap rezim," kata Sigit
Menurut Sigit, TWK yang dilaksanakan juga berpotensi dipakai sebagai alat untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan pemegang kuasa pada institusi tertentu.
Terlebih, jika pelaksanaan tes tersebut tanpa ada penjelasan masuk akal tentang relevansi dengan kinerja, misi dan reputasi institusi terkait.
"Jika rekrutmen dilakukan tanpa standar yang jelas, obyektif dan transparan, patut diduga ada masalah dalam desain dan proses rekrutmen tersebut," ujarnya.
Baca juga: Samakan TWK dengan Litsus Era Orba, Tjahjo: Dulu Fokus PKI, Sekarang Lebih Kompleks
"Atau dari awal memang dimaksudkan untuk tidak meloloskan calon-calon tertentu yang tidak dikehendaki dengan beragam dalih, justifikasi dan kepentingan tersembunyi," lanjut dia.
Litsus, kata Sigit, yang dilaksanakan tanpa maksud yang jelas dan sebenarnya, hanya dilakukan untuk menyingkirkan orang yang dianggap sebagai kelompok ekstrem kiri, kanan, tengah, atau kelompok apapun namanya yang tak sejalan dengan kebijakan penguasa.
Ia khawatir tes semacam itu menjelma atau diganti dengan TWK seperti yang terjadi pada saat ini di KPK.
"Mereka yang dinyatakan tidak lolos dalam tes semacam ini akan dianggap tidak nasionalis atau tidak memilik wawasan kebangsaan. Suatu pembunuhan karakter yang absurd dan melecehkan akal sehat," ucap Sigit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.