JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi telah berlaku hampir dua tahun sejak disahkan oleh DPR pada 17 September 2019 kini bakal diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal uji materinya.
Proses perdebatan hingga penolakan berwujud demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil turut mewarnai jalannya pembahasan hingga pengesahan UU KPK hasil revisi.
Dalam proses menuju pengesahan, sikap dan pernyataan tegas dari Presiden Joko Widodo kala itu paling ditunggu-tunggu.
Baca juga: Soal Uji Materi UU KPK, Firli Bahuri: Apa Pun Isi Putusan MK, Kami Melaksanakan
Musababnya Presiden Jokowi memposisikan sebagai pihak yang tak mengusulkan revisi UU KPK kala itu. Jokowi menyatakan revisi UU KPK ketika itu merupakan usulan DPR.
kendati demikian Jokowi tak kunjung menyatakan sikap tegasnya apakah menolak atau justru mendukung usulan DPR tersebut.
Lama tak bersuara soal revisi UU KPK, Jokowi akhirnya buka suara soal sikapnya yang ditunggu-tunggu publik.
"Saya tidak setuju terhadap beberapa subtansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Jokowi lalu menjabarkan empat poin revisi yang disebutnya ia tolak. Namun faktanya, hanya dua poin yang benar-benar ditolak oleh Kepala Negara.
Baca juga: Hari Ini, MK Putus 7 Perkara Uji Materi UU KPK
Sebab, dua poin sisanya yang ditolak oleh Jokowi memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang disusun DPR.
Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari pihak eksternal.
"Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperloleh izin (penyadapan) internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi.
Namun, dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor.
Dalam Pasal 12 draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Baca juga: Degradasi Pemberantasan Korupsi, 51 Profesor Minta MK Kabulkan Uji Materi UU KPK
Selanjutnya, Jokowi juga mengaku tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.
"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," kata Jokowi.
Namun, lagi-lagi dalam pasal 45 draf RUU, memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil.
Sementara, dua poin lainnya yang ditolak Jokowi memang diatur dalam draf revisi. Pertama, Jokowi tidak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Poin ini diatur dalam pasal 12 A draf revisi UU KPK.
Terakhir, Jokowi juga tidak setuju pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Poin ini juga memang diatur dalam pasal 7 draf RUU KPK.
Baca juga: Menanti Putusan MK untuk Hasil Uji Materi UU KPK...
Dengan mengaku menolak empat poin tersebut, Jokowi pun mengklaim bahwa revisi yang dilakukan bukan untuk melemahkan KPK.
"Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama."
"Saya ingin KPK punya peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain," kata Jokowi.
Kini hampir dua tahun UU KPK hasil revisi diimplementasikan. Namun ketidakpuasan publik mulai muncul atas kinerja KPK yang dinilai tak lagi seperti dahulu sebelum undang-undangnya direvisi.
Terbaru, berdasarkan survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 7 Februari, sebanyak 51,1 responden tak puas dengan kinerja KPK.
Baca juga: Ini Penjelasan MK Soal Tak Kunjung Memutus Gugatan Uji Materi UU KPK
Sedangkan, mereka yang menyatakan puas sebanyak 43,7 persen, sangat puas 4,2 persen, dan tidak tahu atau tidak jawab (TT/TJ) 0,9 persen.
Dilihat dari survei terbaru itu, kepuasan publik terhadap KPK sejatinya terus menurun. Musababnya, pada Februari 2020 tingkat kepuasan publik terhadap KPK masih berada di angka 81,8 persen.
Turunnya kepuasan publik atas kinerja KPK juga dibarengi dengan sejumlah pelanggaran yang terjadi di KPK.
Pelanggaran kode etik bahkan dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. -Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, Ketua KPK Firli Bahuri bersalah melanggar kode etik mengenai gaya hidup mewah.
"Mengadili, menyatakan terperiksa terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku," kata Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Panggabean saat membacakan putusan dalam sidang yang disiarkan melalui streaming media, Kamis (24/9/2020).
Baca juga: Setahun Belum Putuskan Uji Materi UU KPK, MK Dinilai Sedang Cari Alasan Penolakan
Dewas KPK menilai Firli tidak mengindahkan kewajiban untuk menyadari bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan KPK.
Firli juga dinilai tidak menunjukkan keteladanan dalam tindakan dalam perilaku sehari-hari yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020 tentang penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Atas pelanggaran tersebut, Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa pemberian Teguran Tertulis 2 kepada Firli.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis 2 yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa sebagia Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Tumpak.
Selain pelanggaran kode etik, publik juga dikejutkan dengan dua kasus yang mencoreng kredibilitas KPK.
Baca juga: Eks Pimpinan KPK Heran MK Belum Juga Putuskan Hasil Uji Materi UU KPK
Kasus pertama ialah pencurian barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram yang dilakukan pegawai KPK yang berinisial IGAS dari Pegawai KPK berinisial IGAS yang merupakan Satuan Tugas pada Direktorat Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi).
Emas itu merupakan barang rampasan perkara korupsi atas nama Yaya Purnomo, mantan Pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
IGAS diduga mengambil emas batangan itu dan digadaikan untuk pembayaran utang. Menurut Tumpak, IGAS memiliki utang cukup banyak akibat berbisnis.
Dewas KPK pun menghukum IGAS dengan memberhentikannya secara tidak hormat dari KPK. Selain itu IGAS juga harus berhadapan dengan polisi karena kasus pencurian emas tersebut juga diproses secara pidana.
Kasus kedua ialah penerimaan suap yang dilakukan oleh penyidik KPK yang berasal dari Polri yang bernama AKP Stepanus Robin.
Baca juga: MK Diminta Hadirkan Presiden Jokowi dalam Uji Materi UU KPK, Ini Kata Mahfud
Stepanus diduga menerima suap dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial agar tak melanjutkan kasus dugaan korupsi di Pemkot Tanjungbalai.
Atas perbuatan tersebut, Stepanus Robin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 dan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kendati demikian di tengah carut-marut yang terjadi di internal KPK pasca undang-undangnya direvisi, publik masih menanti harapan dari putusan uji materi UU KPK.
Adapun perkara uji materi UU KPK yang diajukan eks pimpinan KPK sudah dilayangkan sejak menjelang akhir tahun 2019.
Rencananya, sesuai jadwal, MK akan memutuskan uji materi terhadap UU KPK hasil revisi pada Selasa (3/5/2021).
Baca juga: MK Diminta Hadirkan Presiden Jokowi dalan Uji Materi UU KPK
Publik kini tengah menanti putusan uji materi yang bisa mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga antirasuah yang berintegritas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.