Sementara itu, Damar menuturkan, jurnalis kerap mengalami doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi. Sedangkan aktivis mengalami peristiwa yang jauh lebih buruk.
Damar mencontohkan, dalan konteks kasus Papua, sejumlah aktivis mengalami pengambilalihan akun media sosial oleh pihak yang tidak dikenal.
Ada pula yang mendapat kiriman makanan yang tidak pernah dipesan dari aplikasi ojek online.
"Ini situasi yang tidak pernah terjadi di periode-periode (pemerintahan) sebelumnya," kata Damar.
Dikutip dari Kompas.id, sepanjang 2018-2020 SAFENet mencatat 18 kasus doxing yang melibatkan 23 korban. Kebanyakan kasus menyasar jurnalis dan aktivis.
Peneliti SAFENet Ika Ningtyas mengatakan, kemungkinan masih ada kasus doxing lainnnya yang tidak tercatat. Sebab, data tersebut berdasarkan aduan yang masuk ke SAFENet.
Baca juga: Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital
Ada pula kemungkinan korban mengabaikan doxing yang diterima karena hanya dianggap gangguan biasa.
Doxing dinilai sebagai cara membungkam jurnalis dan aktivis yang kritis terhadap kebijakan publik. Jika dibiarkan, doxing menjadi salah satu ancaman bagi demokrasi.
”Jurnalis dan aktivis banyak mendapat serangan digital, terutama doxing. Kedua kelompok ini menjadi target doxing terkait beberapa hal yang terjadi pada tahun ini, seperti pemberitaan terkait pandemi, omnibus law, dan isu Papua yang muncul lagi karena gerakan Black Lives Matter di AS,” kata Ika, Rabu (23/12/2020).
Sementara itu, Amnesty Internasional Indonesia mencatat 132 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi yang dialami sejumlah kelompok masyarakat sepanjang 2020.
"Setidaknya terdapat 132 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi sepanjang 2020 dengan 157 korban dengan dugaan kriminalisasi baik menggunakan pasal dalam UU ITE maupun KUHP," ujar peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya dalam konferensi pers, Rabu (7/4/2021).
Ari mengatakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi termasuk yang dialami jurnalis berupa serangan digital dan ancaman kriminalisasi. Dalam satu periode tersebut, Amnesty mencatat ada 56 kasus kekerasan yang dialami jurnalis.
"Setidaknya ada 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mendokumentasikan protes penolakan UU Cipta Kerja antara tanggal 7 dan 21 Oktober 2020," kata Ari.
Baca juga: Laporan Amnesty, 132 Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berekspresi Sepanjang 2020
Secara keseluruhan, lanjut Ari, mahasiswa, akademisi, pembela HAM, hingga jurnalis mengalami intimidasi digital.
Intimidasi terjadi ketika mereka mengkritik pemerintah maupun saat mengangkat isu sensitif, seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
"Setidaknya ada 66 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami 86 korban yang terdiri dari organsiasi, aktivis, jurnalis, dan akademisi sepanjang 2020," ungkap Ari.
Menurut Ari, intimidasi digital bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan upaya membungkam suara kritis masyarakat.
"Intimidasi dilakukan dalam berbagai bentuk termasuk kekerasan fisik, intervensi dari pimpinan universitas kepada mahasiswa," ucapnya.
Kebebasan berekspresi memburuk
Kebebasan berekspresi di ruang digital juga dinilai memburuk selama pandemi Covid-19.
Damar Juniarto mengatakan, kondisi kebebasan berekspresi di ruang digital memburuk selama 2020. Ia menyebutnya dengan istilah siaga dua bagi kondisi kebebasan berekspresi.
"Saya katakan lebih buruk karena pandemi. Pandemi ini memaksa kita mengalihkan aktivitas kita di ruang digital dan ternyata itu memberi beban ganda," ujar Damar.
"Dan secara skor kita naik statusnya jadi siaga dua. Kenapa kami katakan itu, karena sejumlah hal," lanjutnya.
Baca juga: SAFEnet Sebut Kondisi Kebebasan Berekspresi di Indonesia Memburuk pada 2020
Damar mencontohkan, diabaikannya hak akses warga terhadap dunia digital. Padahal, selama pandemi Covid-19 dipaksa untuk lebih banyak menggunakan media digital.
"Bahkan boleh dibilang ini menimbulkan masalah baru di mana ada masyarakat kurang beruntung tidak bisa nikmati pendidikan dan ekonomi di saat situasi seperti ini," ungkapnya.
Selain itu, SAFEnet juga menemukan masih terjadinya empat kali kejadian internet shut down di Papua selama 2020.