Kondisi ini sebelumnya juga pernah terjadi pada 2019.
"Dan ini masih berlangsung sekarang di 2021 sebetulnya," tutur Damar.
"Kemudian dari sisi berekspresi, memang betul kami terus menerus menemukan banyak sekali orang yang dipidanakan," lanjutnya.
Baca juga: SAFEnet: Masyarakat Memilih Tak Sampaikan Kritik karena Ancaman dari Regulasi
Selanjutnya, SAFEnet juga mencatat terbitnya dua telegram dari Kapolri.
Telegram pertama, yakni soal sanksi pidana bagi indivudu yang mengkritisi kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
"Itu ternyata berimbas kepada orang-orang ditangkap, dipidana dan dijadikan tersangka dengan menggunakan UU ITE," ungkap Damar.
"Telegram kedua soal Omnibus Law. Itu ternyata berimbas cukup besar dengan banyaknya orang yang ditangkap sebab mengkritisi kebijakan Omnibus Law," katanya.
Masyarakat takut bicara politik
Di sisi lain, masyarakat Indonesia semakin takut berbicara isu-isu politik.
Temuan survei lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Selasa (6/4/2021) mengungkap, sebanyak 39 persen masyarakat Indonesia merasa takut bicara isu politik.
"Yang menyatakan selalu dan sering masyarakat sekarang takut bicara masalah politik itu jumlahnya ada sekitar 39 persen," kata Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad, dalam rilis survei daring, Selasa.
Dari angka 39 persen itu, 32,1 persen responden mengaku sering takut bicara ihwal politik. Kemudian, 7,1 persen selalu merasa takut.
Baca juga: Survei SMRC: 39 Persen Responden Warga Indonesia Takut Bicara Politik
Sementara, 33,3 responden mengaku jarang takut bicara masalah politik, 20,2 persen tidak pernah takut, dan 7,2 persen tidak menjawab.
Menurut Saidiman, dibanding survei SMRC Juli 2009, persentase masyarakat yang takut bicara masalah politik naik dari angka 14 persen.
Namun, dibanding survei Mei 2019, persentase tersebut menurun dari angka 43 persen.
Secara demografi, masyarakat yang takut bicara politik lebih banyak dari kalangan perempuan yakni 41 persen.
Kemudian, kalangan tersebut banyak berasal dari warga perkotaan yakni 44 persen, masyarakat usia kurang dari 25 tahun sebanyak 54 persen, dan warga lulusan SMA sebesar 51 persen.
Selain itu, survei juga menemukan bahwa ada 32 persen warga yang menyatakan selalu atau sering takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum.
Kemudian, 30,4 persen jarang merasa takut, sebanyak 29,4 persen tidak pernah takut, dan sisanya 8,4 persen tidak menjawab.
Ketakutan masyarakat terhadap penangkapan semena-mena aparat hukum cenderung fluktuatif.
Baca juga: Tren Takut Bicara Politik dan Penangkapan Semena-mena Meningkat Pasca Kerusuhan 22 Mei
Namun, jika dibandingkan dengan survei SMRC pada Juli 2009, angkanya mengalami kenaikan. Survei kala itu menunjukkan bahwa 23 persen responden selalu/sering merasa takut terhadap penangkapan semena-mena aparat hukum.
"Kalau kita lihat trennya itu juga cukup fluktuatif, tapi kalau kita lihat secara umum sejak 2009 itu mengalami kenaikan," ujar Saidiman.
Selain itu, survei juga memperlihatkan bahwa masyarakat yang takut ikut organisasi naik dari 9 persen pada survei Juli 2009, menjadi 20 persen pada saat ini.
"Artinya semakin banyak warga yang menilai sekarang masyarakat takut ikut organisasi," kata Saidiman.
Survei berskala nasional itu digelar pada 28 Februari sampai 5 Maret 2021. Survei melibatkan 1.064 responden yang dipilih secara acak. Margin of error survei diperkirakan 3,07 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.