SYAHDAN, istilah parlemen terambil dari kata Perancis, parle yang berarti berbicara. Maka, parlemen bisa dimaknai representasi rakyat berbicara.
Wakil rakyat bertugas bicara. Menyuarakan apa yang dikehendaki rakyat soal kehidupan bernegara.
Sayangnya tidak selalu konsep itu berkorelasi dengan faktanya. Iwan Fals pernah menyindir di masa Orde Baru dengan judul lagu Surat untuk Wakil Rakyat yang petikan baitnya,
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu setuju
Tentu, kita semua mengharapkan lagu Iwan Fals tadi tidak kembali populer karena terkoneksi dengan situasi parlemen di masa reformasi. Cukup situasi itu terjadi di masa kegelapan Orde Baru (Orba).
Tulisan Budiman Tanuredjo (Disrupsi Partai Politik, Kompas.id, 10/4/2021:2) seolah mengonfirmasi kekhawatiran di atas.
Tulisnya, “Jarang terdengar suara kritis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Rencana pemerintah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur sepi dari kritik politisi DPR”.
Survei Charta Politika, 20-23 Maret 2021, menunjukkan kepercayaan publik pada DPR di angka 61 persen. Kalah dengan TNI (84,4 persen) dan Presiden (83 persen).
Kritik serupa menerpa mitranya senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam suatu forum, Syarif Hidayat (peneliti LIPI), mengkhawatirkan, parlemen tidak lagi menyampaikan voice (aspirasi publik) namun sekadar noise (kebisingan).
Perbincangan soal parlemen itu sendiri, dari sudut akar filosofis, tidak bisa dilepaskan dari gagasan demokrasi. Demokrasi---sebagai gagasan yang sejak lama ditawarkan filsuf Yunani sekitar 2500 silam---menurut Donny Gahral Adian (Teori Militansi, 2011:13-14), sedari awal mengandung paradoks.
Paradoks terletak pada kata yang membentuknya: demos (rakyat) dan kratein (kekuasaan). Demos menyiratkan kesetaraan dan kebebasan. Sementara kratein sebaliknya, menyiratkan sub-ordinasi dan hirarki.
Kesetaraan berseberangan dengan hirarki. Kebebasan bertolak belakang dengan sub ordinasi. Paradoks tersebut teratasi apabila demos diperintah oleh dirinya sendiri (self government).
Idealisme ini sayangnya bertumbukan dengan fakta, demokrasi membutuhkan mediasi atau representasi. Rakyat tidak memerintah dirinya sendiri. Tapi menghasilkan kekuasaan kepada representasi politiknya, baik di eksekutif maupun parlemen.
Konsep ini rupanya, menurut penulis, tidak terbayangkan atau setidaknya terantisipasi, bagaimana jika parlemen punya hidden agenda tersendiri.
Bukan menyuarakan rintihan rakyatnya, namun tergoda berselancar dalam oligarki di antara mereka. Akibat pemujaan pada kapital dan pragmatisme sebagai dampak merajalelanya politik uang.