JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, penangkapan terhadap AM, warga Slawi, Kabupaten Tegal, lantaran mengunggah komentar yang diduga memuat ujaran kebencian terhadap Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di media sosial, bukan merupakan pendekatan keadilan restoratif.
Erasmus mengatakan, restorative justice seharusnya digunakan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat. Sedangkan dalam kasus ini, ia menyebutkan, tidak jelas siapa yang dianggap sebagai korban.
“Restorative justice ditujukan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat, dalam kasus ini, apabila kasusnya adalah penghinaan, maka siapa korbannya? Sebab Gibran tidak melakukan pelaporan sama sekali,” jelas Erasmus dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3/2021).
Menurut Erasmus, tindakan yang dilakukan oleh Polresta Solo dengan melakukan penangkapan pada AM justru tidak mencerminkan prinsip restorative justice. Pasalnya, tindakan itu justru hanya menimbulkan ketakutan pada masyarakat.
Baca juga: Polisi Virtual Diingatkan Tak Main Tangkap Terkait Pemuda Komentari Gibran
“Tindakan polisi bukan merupakan restorative justice, dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan pada masyarakat dan tidak memulihkan,” sambungnya.
Dari sisi hukum, lanjut Erasmus, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara.
“UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara, dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya,” ungkap Erasmus.
Jika pola seperti ini terus terjadi, ia menambahkan, keberadaan polisi virtual atau virtual police berpotensi untuk mengancam dan memperburuk demokrasi.
“Keberadaan polisi virtual justru difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara dalam berekspresi di dalam dunia digital. Hal ini jelas mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kritik atas jalannya pemerintahan,” ucapnya.
Sebagai informasi AM ditangkap oleh Polresta Solo karena memberikan komentar di sosial media Instagram, pada akun @garudarevolution tentang keinginan Gibran menyelenggarakan semifinal dan final Piala Menpora di Stadion Manahan Solo.
Baca juga: Gibran Dihina di Medsos, Polisi Tangkap Seorang Pemuda, Ini Penjelasan Kapolresta Solo
“Tahu apa dia tentang sepak bola, taunya cuma dikasih jabatan saja,” komentar AM di akun itu.
Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menerangkan AM ditangkap karena tidak menghapus komentarnya, padhaal sudah diperingatkan melalui direct massage (DM) oleh virtual police.
“Yang bersangkutan sudah minta maaf tidak akan mengulangi perbuatannya,” terang Ade, Senin (15/3/2021).
Menurut pihak kepolisian, komentar AM tidak sesuai fakta, sebab Gibran menjadi Wali Kota Solo karena dipilih oleh masyarakat melalui mekanisme Pilkada, bukan diberi jabatan oleh Ayahnya, yakni Presiden Joko Widodo.
“Seperti kita ketahui Kepala Daerah (Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta) dipilih secara langsung oleh warga masyarakat Surakarta yang mempunyai hak pilih melalui mekanisme, tahapan dan proses Pilkada,” imbuh Ade.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.