JAKARTA, KOMPAS.com - Praktik korupsi ternyata tidak "padam" di tengah pandemi Covid-19 yang telah melanda Tanah Air selama satu tahun bekalangan.
Sejumlah penangkapan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat pandemi, termasuk dua menteri di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sejak awal pandemi melanda di bulan Maret 2020, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan pihaknya tetap bekerja untuk mengendus dan menemukan tindak pidana korupsi. Penanganan pandemi Covid-19 juga tak luput dari pengawasan KPK.
Firli pun mengingatkan semua pihak agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah pandemi, terlebih ada ancaman hukuman mati bagi pelakunya.
"Masa sih, ada oknum yang masih melakukan korupsi karena tidak memiliki empati kepada NKRI. Ingat korupsi pada saat bencana ancaman hukumannya pidana mati," tegas Firli dalam keterangan tertulis, 21 Maret 2020.
OTT Dua Menteri
Meski sudah diperingatkan oleh Ketua KPK, nyatanya, praktik korupsi masih tetap terjadi.
Salah satunya penindakan terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 November 2020.
Baca juga: Bantah Kunjungan Online dengan Eksportir Benur, Ini Penjelasan Edhy Prabowo
Kala itu, Edhy ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta ketika baru kembali dari kunjungan kerja ke Amerika Serikat. Tak hanya Edhy, belasan orang lain juga terjaring OTT di lokasi yang berbeda.
Setelah itu, KPK menetapkan total tujuh tersangka dalam kasus dugaan suap ekspor benih lobster tersebut.
Rinciannya, Edhy, Andreau Misanta Pribadi dan Safri selaku staf khusus Edhy, sekretaris pribadi Edhy Amiril Mukminin, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, dan Ainul Faqih selaku staf istri Edhy.
Sementara itu, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima suap dari sejumlah perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster.
Edhy diduga menggunakan perusahaan forwarder. Uangnya kemudian ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp 9,8 miliar.
Selain itu, Edhy juga diduga menerima uang 100.000 dollar Amerika Serikat dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.