KOMPAS.com – Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal untuk menyelamatkan perekonomian di saat pandemi Covid-19.
Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada 2019 menjadi 6,3 persen pada 2020.
“Diperkirakan, masih akan defisit sebesar 5,7 persen pada 2021. Tetap perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini,” katanya dalam siaran persnya Kamis (18/2/2021).
Anis mengatakan itu untuk menanggapi peningkatan utang pemerintah yang ditargetkan sebesar Rp Rp 1.177,4 triliun pada 2021. Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp1.207,3 triliun.
Sebelumnya, sejumlah kalangan tengah menyoroti soal utang dan defisit yang dialami pemerintah. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun.
Baca juga: Utang Luar Negeri Naik, Pimpinan Komisi XI: Yang Terpenting Harus Digunakan Maksimal
Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) sebesar 36,68 persen
Anis juga memberikan catatannya terkait sebagian besar defisit APBN yang dibiayai utang. Kendati defisit merupakan langkah normal di saat resesi, semakin lebar defisit, semakin besar juga utang.
“Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang,” paparnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (19/2/2021).
Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir mencapai Rp 10 hingga Rp 30 triliun tiap tahunnya.
Baca juga: Fakta Seputar Utang Pemerintah Era Jokowi yang Tembus Rp 6.074 Triliun
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menjelaskan, pelebaran defisit ini disebabkan tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).
Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.
“Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” ujar legislator dapil DKI Jakarta I itu.
Lebih lanjut, Anis menyoroti primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun selalu tercatat negatif. Primary balance negatif artinya pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang.
“Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” tegasnya.
Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada 2020 diperkirakan mencapai minus 4,3 persen dan pada 2021 mencapai minus 3,59 persen.