“Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang,” ungkap Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga ini.
Baca juga: Soal Investasi PMN, Komisi XI DPR: Kami Harap Manfaatnya Dirasakan Masyarakat
Selain itu, Anis memaparkan, pada masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat dari awalnya 24 persen pada 2014 menjadi 30,2 persen pad 2019.
Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.
“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus,” ujarnya.
Itu berarti, jelasnya, pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang.
Menanggapi sorotan publik, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan pelemahan ekonomi akibat Covid-19.
Baca juga: Sri Mulyani: Ada LPI, Pembangunan Infrastruktur Tak Hanya Andalkan Utang
Selain itu, ada pula peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan PEN. Sri Mulyani juga menyebut, negara lain mengalami hal serupa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.