Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Indikator: Mayoritas Responden Enggan Pilkada 2022 dan 2023 Ditunda

Kompas.com - 08/02/2021, 20:33 WIB
Tatang Guritno,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mayoritas responden yang diklaim mewakili publik tak setuju jika pilkada serentak 2022 dan 2023 ditunda. Hal itu tampak dari hasil survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia (IPI). 

Artinya, kata Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, menurut survei yang diadakan pada 1-3 Februari itu, mayoritas responden menginginkan Pilkada 2022 dan 2023 tetap dihelat sesuai waktunya atau tak digeser ke tahun 2024. 

Survei itu menyebut lebih dari 50 persen responden menginginkan pilkada 2022 dan 2023 tetap digelar di tahun yang sama. 

"Sebanyak 54,8 persen publik memilih pemilihan gubernur, bupati atau wali kota dilaksanakan sebelum masa tugas mereka berakhir di tahun 2022," terang Burhanuddin dalam diskusi daring yang dilaksanakan Indikator Politik, Senin (8/2/2021).

Sementara itu, 31,5 persen responden ingin pilkada digelar pada 2024, sisanya menjawab 13,7 persen tak menjawab atau tak memilih. 

Baca juga: Kode Inisiatif Prediksi Hanya 96 Perkara Sengketa Pilkada yang Akan Dilanjutkan ke Tahap Pembuktian

Dalam survei itu disebutkan pula, sebanyak 53,7 persen memilih pilkada digelar pada 2023 tanpa ditunda hingga 2024. Sementara 32,4 persen memilih pilkada dilaksanakan pada 2024. Sebanyak, 14 persen tak menjawab atau tak memilih. 

Menurut Burhanuddin sebagian besar masyarakat berdasarkan survei tersebut ingin pilkada digelar di tahun yang sama dengan habisnya masa jabatan pemimpin daerah karena tidak ingin dipimpin penjabat (Pj) yang tidak dipilih melalui proses demokrasi.

"Katika (masa jabatan pemimpin daerah) habis sebaiknya dilakukan pemilihan jangan ditunda sampai dua tahun. Karena tadi, ada penjabat yang tidak (dipilih secara) demokratis dan menentukan hajat hidup orang banyak," papar Burhanuddin.

Berdasarkan survei itu juga diketahui bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik dan pembuat UU di DPR rendah.

Tingkat kepercayaan responden pada partai politik hanya sebesar 47,8 persen, dan kepercayaan pada DPR sebesar 52,6 persen.

Persentase keduanya cenderung rendah jika dibandingkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga negara lain seperti TNI, Presiden, Gubernur, KPK, Polisi, Kejaksaan dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Baca juga: Burhanuddin: Kalau Pilkada Ditunda yang Dirugikan Rakyat dan KPU

"Karena tingkat kepercayaan pada partai dan pembuatn UU di DPR rendah, maka UU harus dibuat dengan memperhatikan apa yang publik inginkan. Semakin tidak mendengar aspirasi publik pada poin-poin revisi UU Pemilu dan Pilkada maka semakin negatif evaluasi publik terhadap DPR maupun pemerintah," tutur Burhanuddin.

Adapun metode survei nasional Indikator dilakukan dengan melibatkan sampel responden dari seluruh provinsi di Indonesia.

Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com