Selain itu, hal tersebut juga menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga, menghancurkan masa depan anak, serta mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kata dia, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air mencapai 5.640 kasus.
"Pemerintah terus mengupayakan agar anak-anak di Indonesia terlindungi dari setiap tindak kekerasan dan eksploitasi melalui sejumlah peraturan perundang-undangan," ucap dia.
Kebiri Kimia Masih Simpan Masalah
Menanggapi penerbitan PP tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa hukuman kebiri kimia masih menyisakan sederet permasalahan.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebut permasalahan itu terletak pada tidak adanya keterangan yang jelas dan detail, misalnya mengenai mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan.
"Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Senin (4/1/2021).
Baca juga: Ada PP Kebiri Kimia, Anggota DPR Ingatkan Tetap Pentingnya Pencegahan Kekerasan Seksual
Erasmus mengatakan praktik kebiri pada dasarnya membutuhkan persiapan dan pembangunan sistem perawatan yang tepat, termasuk kebutuhan anggaran yang besar.
Skema ini diperlukan sebagaimana praktik kebiri di negara-negara lain. Namun demikian, kata Erasmus, pemerintah sejauh ini tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran penyediaan anggaran.
Mengingat, penerapan kebiri ini diyakini akan menguras dana besar.
"Dari proyeksi yang bisa dilakukan, anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," terang Erasmus.
Nihilnya skema pendanaan juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara selama ini untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana.
Berdasarkan data anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2015-2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat.
Pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan.
Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia Berlaku, Pelaku Anak Tidak Bisa Dikenakan
Anggaran LPSK pada 2015 mencapai Rp148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54,5 miliar.
"Padahal kebutuhan korban meningkat. Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar," jelas Erasmus.
Selain anggaran, lanjut Erasmus, Indonesia hingga kini belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Berdasarkan tinjauan ICJR, aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-beda minimal di lima Undang-undang (UU).
"UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TPPO, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU SPPA, perlu adanya satu UU baru yang dapat merangkum dan secara komprehansif menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.