Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putusan Banding Kuatkan Vonis 6 Tahun Penjara untuk Wahyu Setiawan, Hak Politik Tak Dicabut

Kompas.com - 09/12/2020, 13:48 WIB
Ardito Ramadhan,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima banding yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR RI periode 2019-2024 dengan terdakwa eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Putusan banding PT DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis enam tahun penjara bagi Wahyu.

"Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 24 Agustus 2020 Nomor 28/Pid.SusTPK/2020/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi amar putusan majelis hakim yang diunduh dari situs Direktori Putusan MA, Rabu (9/12/2020).

Putusan banding tersebut juga tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu seperti yang diminta KPK.

Baca juga: Vonis 6 Tahun Wahyu Setiawan, Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa, dan Hak Politik yang Tak Dicabut

Alasannya, Wahyu tidak berkarier dalam dunia politik serta untuk menghargai hak asasi manusia Wahyu yang telah bekerja di KPU dengan menyukseskan Pemilu 2019.

"Bahwa Terdakwa Wahyu Setiawan tidak berkarier dalam dunia politik dan dengan telah dijatuhi pidana pokok tersebut sudah tipis harapan untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi," bunyi putusan majelis hakim banding.

Majelis hakim yang memutuskan banding tersebut terdiri dari Muhammad Yusuf sebagai hakim ketua majelis serta Sri Andini, Haryono, Jeldi Ramadhan, dan Lafat Akbar selaku hakim anggota.

Putusan banding terebut dibacakan pada Senin (7/9/2020) tersebut dan tercatat pada nomor putusan 37/PID.TPK/2020/PT DKI.

Baca juga: KPK Ajukan Banding atas Vonis Wahyu Setiawan

Diketahui, KPK mengajukan banding atas vonis terhadap Wahyu yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.

Salah satu pertimbangan KPK mengajukan banding karena Wahyu tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

Pada pengadilan tingkat pertama, Wahyu divonis hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan, lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yaitu 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain vonis yang lebih ringan, majelis hakim juga tidak mengabulkan tuntutan JPU KPK agar Wahyu dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama empat tahun terhitung sejak Wahyu selesai menjalani pidana pokok.

Baca juga: Divonis 6 Tahun Penjara, Berikut Perjalanan Kasus Hukum Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan

Dalam perkara ini, Wahyu bersama mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridellina terbukti menerima uang sebesar 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau setara dengan Rp 600 juta dari Saeful Bahri.

Suap tersebut diberikan agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu anggota DPR Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Selain itu, Wahyu juga terbukti menerima uang sebesar Rp 500 juta dari Sekretaris KPU Daerah (KPUD) Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi calon anggota KPU daerah (KPUD) Provinsi Papua Barat periode tahun 2020-2025.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com