JAKARTA, KOMPAS.com - Tahap pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di 270 daerah akan dilaksanakan pada Rabu (9/12/2020). Pilkada kali ini mendapat banyak sorotan dari ahli epidemiologi dan kesehatan karena tetap digelar di tengah pandemi Covid-19.
Para ahli kesehatan menyarankan beberapa upaya yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu agar pilkada tidak menjadi klaster penularan virus corona. Mulai dari pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan hingga waspadai euforia pilkada.
Perketat pengawasan
Ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani menyarankan penyelenggara pemilu melakukan pengawasan aturan terkait penerapan protokol kesehatan saat pemungutan suara.
Laura menekankan, jangan sampai aturan yang sudah dibuat justru tidak dilaksanakan dengan baik.
Baca juga: Waspadai Potensi Penularan Covid-19 Saat Pemungutan Suara Pilkada
Selain itu, Laura juga menyarankan penyelenggara pemilu gencar melakukan sosialisasi terkait apa saja yang harus dilakukan pemilih saat datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Sehingga, masyarakat bisa menerapkan protokol kesehatan sesuai aturan yang telah dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Jangan sampai nanti masyarakat enggak tahu, kemudian datang dalam kondisi yang tidak diharapkan, ini akan munculkan pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan," ujar Laura, Minggu (6/12/2020).
Baca juga: Mekanisme Pencoblosan Pilkada 2020 bagi Pemilih dengan Suhu di Atas 37,3 Derajat Celsius
Hal senada diungkapkan pakar epidemiologi dari Universitas Diponegoro Ari Udiyono. Ia mengatakan, seluruh pihak harus berupaya ekstra untuk menekan potensi penularan.
"Penekanan adalah pada protokol kesehatan. Semua harus menggunakan masker dan jarak diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kerumunan," kata Ari, Senin (7/12/2020).
Ari menuturkan, KPU telah membuat sejumlah peraturan saat pencoblosan yang harus ditaati dalam mencegah penyebaran virus corona.
Tunda sekolah tatap muka
Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB) IDI, Zubairi Djoerban menyarankan sekolah tatap muka tidak dibuka pada awal Januari 2021 jika pilkada tetap berlanjut.
Ia mengingatkan risiko penularan Covid-19 secara total apabila sejumlah kegiatan dilakukan hampir bersamaan.
"Bila Pilkada lanjut, ya sekolah tatap muka jangan dibuka awal Januari, agar risiko peningkatan penularan secara total, yakni gabungan pilkada,libur panjang, sekolah tatap muka tidak terjadi," ujar Zubairi ketika dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: Catat, Ini Mekanisme Pencoblosan Pilkada 2020 di Tengah Pandemi Covid-19
Dalam waktu dekat, ada tiga kegiatan yang bisa menaikkan penularan Covid-19, yakni pilkada, libur akhir tahun, dan penerapan kegiatan belajar tatap muka.
Sehingga, menurut Zubairi, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara berkala terkait perubahan kebijakan atau menentukan kebijakan baru.
"Ini soal nyawa rakyat, sebelum semua kian memburuk," ucap Zubairi.
Waspada euforia pilkada
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra justru memprediksi akan ada kenaikan kasus baru Covid-19 setelah pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember.
Hal itu berkaca dari kegiatan libur panjang dan aksi demonstrasi yang sebelumnya selalu berdampak pada kenaikan kasus positif Covid-19.
"Soal kasus naik atau tidak pasti akan naik, tidak mungkin tidak. Sebab cuti liburan saja setelahnya ada kenaikan kasus (Covid-19)," ujar Hermawan dalam diskusi persiapan Pilkada 2020 yang digelar secara daring, Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: Cegah Peningkatan Kasus Covid-19, Pemerintah Diminta Waspadai Euforia Pilkada dan Libur Akhir Tahun
Ia mengatakan, pada hari pemungutan suara nanti lebih dari 100 juta orang yang pergi ke TPS. Jumlah ini merujuk kepada jumlah pemilih tetap.
Hermawan membandingkan kondisi itu dengan aksi demonstrasi yang melibatkan ratusan orang.
"Pada saat demonstrasi saja kita sudah ngeri membayangkan dampaknya. Apalagi saat pilkada nanti. Di sana juga ada kelompok rentan, ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, penderita komorbid dan sebagainya," tegas Hermawan.
Baca juga: Ini Tata Cara Pemungutan Suara Pilkada 2020 bagi Pasien Positif Covid-19
Ia mengingatkan, secara psikologis masyarakat masih memandang pilkada sebagai pesta demokrasi. Sehingga ada kegembiraan dan euforia ketika pelaksanaannya.
Euforia itu yang perlu diwaspadai karena berpotensi menyulitkan pengaturan di lapangan.
"Yang diatur kedatangan sesuai jadwal, belum tentu dia nurut. Karena ada keinginan bergabung dengan euforia pesta demokrasi tadi," ujar Hermawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.