JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengakui, rokok merupakan penghasil devisa tertinggi negara meskipun mengganggu kesehatan.
Hal tersebut menjadi dilema, karena kerugian akibat rokok jauh lebih besar dibanding pemasukan yang dihasilkan dari rokok.
"Polemik rokok juga terjadi lantaran dinilai sebagai salah satu penghasil devisa tertinggi negara. Padahal jumlah kerugian yang disebabkan penyakit akibat rokok nilainya jauh lebih besar ketimbang pemasukan yang dihasilkan negara dari rokok," ujar Muhadjir, dikutip dari siaran pers, Minggu (25/10/2020).
Muhadjir memaparkan, kematian dini dan morbiditas akibat merokok telah menjadi beban signifikan pada sistem kesehatan nasional.
Baca juga: Menko PMK: Rokok Salah Satu Penghambat Pembangunan Manusia di Indonesia
Hal tersebut telah membuat negara menghabiskan biaya kesehatan diperkirakan 1,2 miliar USD atau Rp 17,46 triliun per tahun.
Selain itu, rokok juga diperkirakan dapat membunuh sekitar 226.000 jiwa atau 14,7 persen dari total kematian orang Indonesia setiap tahun.
Oleh karena itu, kata dia, permasalahan rokok pun harus ditangani dengan baik oleh pemerintah.
"Masalah rokok ini harus ditangani secara intensif, termasuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menurunkan angka prevalensi rokok serta meminimalisir dampaknya di segala aspek yang dapat mengganggu pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia," kata Muhadjir.
Baca juga: Menko PMK: Bantuan Sembako Akan Diantar Langsung ke KPM di Sejumlah Daerah di Papua dan Papua Barat
Muhadjir mengatakan, saat ini rokok menjadi salah satu penghambat pembangunan manusia di Tanah Air.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018, prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai 33,8 persen.
Kemudian penduduk usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 pada tahun 2018.
Hal itu pun menyebabkan Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah pria dewasa perokok tertinggi ketiga di dunia di bawah China dan India.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.