JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Banten Bersatu (AB3) dan Aliansi Buruh Bekasi Melawan (BBM) tidak mendapatkan izin dari kepolisian untuk melakukan unjuk rasa penolakan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ke Gedung DPR.
Hal itu dikatakan Direktur Aksi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Mubarok saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/10/2020) kemarin.
"Hari ini, teman-teman buruh bergerak dari masing-masing titik menuju DPR RI, karena info yang diterima hari ini ada rapat paripurna pembahasan untuk ke tingkat dua terkait RUU Omnibus law,” kata Mubarok, Senin.
“Jika pemerintah dan DPR RI tidak memaksakan kehendak melegalkan Omnibus Law di tengah pandemi, pasti buruh tidak akan memaksakan untuk aksi pengawalan,” lanjut dia
Baca juga: Buruh Mogok Kerja Nasional, Menperin Minta Ini ke Pelaku Industri
Mubarok mengatakan, pelarangan tersebut membuat buruh meradang, bahkan hingga tidur-tiduran di jalan.
Pergerakan aliansi tesebut juga dijaga ketat pihak kepolisian sehingga tidak bisa bergerak menuju gedung parlemen.
Sementara itu, sejumlah buruh lain yang telah tiba di Gedung DPR dibubarkan oleh pihak kepolisian.
Ia mendapatkan informasi bahwa Polisi akan menindak tegas buruh yang tidak pulang dan meninggalkan lokasi aksi.
“Sampai di DPR RI, sejumlah buruh yang datang diperintahkan untuk membubarkan diri dan pulang, dengan alasan pandemi dan PSBB,” ucap Mubarok.
Baca juga: Aliansi Buruh Banten: Mogok Nasional Bentuk Perlawanan Menolak UU Cipta Kerja
“Bahkan ada kawan-kawan yang dipaksa pulang diantar dengan mobil tahanan polisi ke Stasiun Palmerah,” tutur dia.
Menurut Mubarok, semestinya sejumlah aliansi buruh yang terdiri dari BBM (Buruh Bekasi Melawan), AB3 (Aliansi Buruh Banten Bersatu), dan GBJ (Gerakan Buruh Jakarta) akan melakukan aksi penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR.
Pihak Polri menyebut, penerbitan surat telegram untuk meredam aksi buruh menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih dalam koridor tugas pokok institusi kepolisian.
"Polri sesuai dengan tugas pokoknya, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, dan selaku penegak hukum, tentunya punya kepentingan terkait dengan merebaknya informasi demo besar-besaran 6, 7, 8," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Senin (5/10/2020).
Baca juga: Polri Klaim Telegram Larang Aksi Buruh Sesuai Tugas Pokok
Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tersebut ditandatangani As Ops Kapolri Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis tertanggal 2 Oktober 2020.
Isinya berupa sejumlah perintah untuk antisipasi aksi unjuk rasa (unras) dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Di antaranya, yaitu perintah melakukan deteksi dini, mencegah aksi unras guna memutus penyebaran Covid-19, patroli siber, hingga kontra narasi.
Pandemi Covid-19 dijadikan alasan Polri untuk tidak memberikan izin unras. Menurutnya, salah satu tugas Polri adalah memutus penyebaran virus corona.
Selain itu, kata Awi, Polri berpedoman bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto.
Baca juga: Menaker Buat Surat Terbuka Bagi Buruh yang Mogok Kerja, Ini Isinya
Untuk itu, aparat membatasi kegiatan yang melibatkan kerumunan massa mengingat berpotensi terjadi penyebaran Covid-19.
"Bukan berarti Polri melarang demo, itu berarti melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998, tidak, pada intinya kita akan kembalikan, keselamatan jiwa masyarakat adalah hukum yang tertinggi," ucap dia.
"Pemikiran inilah yang dijadikan pedoman terhadap dikeluarkannya tersebut, termasuk Polri disampaikan untuk tidak memberikan izin demo," sambung dia.
Penerbitan telegram itu menuai kritik. Salah satunya datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Baca juga: Protes Pengesahan RUU Cipta Kerja, Kelompok Buruh di Bekasi Ancam Mogok Kerja Besok
"Polri tidak punya hak mencegah unjuk rasa," kata Isnur melalui keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Polri justru bertanggung jawab memberi pengamanan terhadap peserta unjuk rasa.
Poin kelima juga menjadi sorotan YLBHI, yakni "lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19".
Begitu pula dengan poin enam yang berisi "lakukan kontra-narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah".
Isnur menuturkan, mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye untuk pemerintah.
Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Kelompok Buruh di Bekasi Merasa Dibohongi
Perintah tersebut juga dinilai menghambat kritik publik terhadap pemerintah.
"Selain itu 'mendiskreditkan' adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan," ucap Isnur.
Untuk diketahui, berbagai organisasi gerakan rakyat yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi-aliansi Daerah menyerukan aksi mogok nasional pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020.
Puncaknya, pada 8 Oktober akan digelar aksi besar-besaran di depan gedung DPR RI dan pemerintah daerah masing-masing kota.
"Pada 6, 7, 8 Oktober 2020 ini Gebrak dan seluruh aliansi dan jaringan di wilayah Indonesia menyerukan aksi nasional pemogokan umum rakyat Indonesia," kata Perwakilan Gebrak yang juga Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, dalam konferensi pers daring, Minggu (4/10/2020).
Baca juga: Saat DPR Percepat Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Abaikan Suara Rakyat
Namun di tengah pembungkaman terhadap kritik, DPR, Senin siang, telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Keputusan itu tiambil dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.
DPR mempercepat penutupan masa sidang karena pertimbangan ada anggota DPR, staf DPR dari unsur ASN dan staf anggota yang terpapar Covid-19.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.