Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Politik Uang, Oligarki, dan Dinasti

Kompas.com - 01/09/2020, 09:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA adalah kisah negara yang selalu berproses. Tidak definitif. Diuji pelbagai rintangan, syarat---mungkin—untuk menjadi negara besar. Karena sesuatu yang besar, dipastikan diuji juga oleh yang besar pula.

Ada beberapa hal yang kita alami: wabah Pandemi Covid-19 yang merenggangkan relasi fisik sosial, ekonomi dan ekologi serta pemilihan kepala daerah pada Desember 2020.

Dua hal ini memakan energi. Menguras fokus. Menyedot suplemen konsentrasi sebagai bangsa. Dibalik hal ini, ada tiga soal yang hendak ditulis dan berkelindan untuk diselesaikan. Soal politik uang, oligarki dan dinasti. Topik ini tengah menjadi batu uji mutu demokrasi.

Politik uang

Burhanuddin Muhtadi pada Juni 2020 merilis disertasi yang diterbitkan buku berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru (KPG,2020). Apa yang menarik dari buku ini.

Pertama, buku ini menawarkan mistik, sebuah hal tidak lazim. Kita negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, namun dengan enteng, negara di Asia Tengara yang mudah mengakui politik uang dibandingkan negara lain.

Kedua, politik uang terpapar pada pemilih yang merasa dekat dengan partai (party ID) daripada yang tidak dekat dengan partai.

Ini menjadi misteri. Sebab umumnya, pemilih yang merasa dekat partai tentu tidak perlu dibujuk dengan uang. Ia loyal memilih partai. Riset Muhtadi menunjukan sebaliknya.

Meski---ini anomali berikutnya---total pemilih yang merasa dekat dengan partai, dari riset Muhtadi, hanya mencapai 15 persen dari total responden survei nasional.

Pasti politik uang mengotori demokrasi. Suara aspiratif terpasung. Rakyat yang bersedia menerima uang dan material lainnya akan tergadai selama lima tahun. Negara disandera.

Politik uang memicu pula penyakit lainnya. Korupsi dan jual beli jabatan marak. Sebab, logika balik modal, bekerja di antara mesin politik uang.

Apakah secara hukum tidak ada larangan? Pasti ada.

Berbagai ketentuan undang-undang pemilu dari masa ke masa mengharamkan politik uang. Merupakan sejenis kejahatan yang jika terbukti bisa dihukum. Namun, kejahatan punya hukumnya sendiri. Terdapat kalkulasi antara risiko dan sanksi.

Jika sanksi tidak tegas diterapkan, atau setidaknya permisif, maka politik uang menjadi pilihan pragmatis. Apalagi di tengah publik yang miskin literasi dan ekonomi namun dahaga pada aktivitas media sosial.

Intinya, politik uang dilarang, tapi sukar dihapuskan karena ada perkawinan silang antara pasar politik uang (supply dan demand) serta rendahnya risiko sanksi yang dihadapi.

Politik oligarki

Politik oligarki sebenarnya---dari berbagai literatur---tumbuh subur di masa Orde Baru (Orba) ketika konsensi dan kebijakan diperdagangkan oleh segelintir elite.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Nasional
Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Nasional
Menteri KKP: Lahan 'Idle' 78.000 Hektare di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Menteri KKP: Lahan "Idle" 78.000 Hektare di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Nasional
Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Nasional
Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Nasional
Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Nasional
Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Nasional
Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com