Riset Vedi R Hadiz menunjukkan, bagaimana sebelum tahun 1980-an di mana saat itu keluarga Soeharto belum menjadi bagian dari pemain ekonomi, oligarki berupa kroni Soeharto seperti Liem Sioe Liong, Bob Hasan dan lainnya terbiasa mendapatkan monopoli dan akses istimewa untuk mendapatkan lisensi, pasokan dan kredit.
Tentu semakin membesar saat keluarga Soeharto turut dalam oligarki dimaksud (Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES,2005:182-183).
Namun, setelah reformasi, masih menurut Vedi R Hadiz, oligarki menyebar. Terjadi desentralisasi kekuasaan presiden kepada lembaga-lembaga seperti partai partai politik dan parlemen. Termasuk pula desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah.
Kontrol otoritarian di masa Orde Baru (Orba) digantikan penggunaan politik uang. Bahkan, di awal reformasi, aroma politik kekerasan dan intimidasi dirasakan (Vedi R Hadiz, 2005:262).
Memang politik oligarki sukar dijangkau hukum. Ia bekerja di ruang ruang dialog tertutup antar elite. Muncul dalam menegosiasikan jabatan jabatan publik. Tidak sedikit melibatkan organisasi dan berbagai akses politik.
Dalam koridor politik oligarki, maka urusan negara seperti urusan segelintir orang-orang itu saja yang mewarnai media dan kekuasaan. Dipastikan menggerogoti kapasitas demokrasi.
Sebab, demokrasi memuja kompetisi. Fairness. Nilai-nilai keadaban publik. Hal seperti ini, lenyap, dalam politik oligarki.
Ujung politik uang dan politik oligarki, tidak sedikit, yang melembagakan pranata politik dinasti atau politik kekerabatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben.
Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Tentu saja, Putusan MK di atas dianggap angin segar bagi pelembagaan politik dinasti.
Dengan begitu, siapapun sanak famili yang masih ada hubungan dengan kepala daerah inkumben, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.
Tentu politik dinasti menimbulkan pro kontra. Bagi yang pro, politik dinasti sah saja. Karena merujuk ke pengalaman India, misalnya, meski dinasti politik terus muncul namun demokrasinya tetap stabil dan bermutu.
Namun bagi yang kontra, seperti diulas Ni’matul Huda, (Perkembangan Hukum Tata Negara:2014, 421), praktik politik dinasti merupakan praktik yang menyebabkan maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik.
Proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, melainkan didasarkan keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukan hubungan darah dan hubungan keluarga.