AWALNYA demokrasi virtual itu---di Indonesia---seperti perbincangan sore hari. Sambil menikmati secangkir wedang jahe dan pisang goreng, dikalkulasi untung ruginya. Risikonya. Demikian pula pro kontranya.
Jadi, demokrasi virtual disadari tidak bisa ditolak, namun masih dianggap uji coba yang belum menyeluruh. Sekadar ricuh pengguna media sosial.
Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan soal itu. Demokrasi virtual tidak lagi soal pro kontra. Tapi menjadi niscaya. Bahkan, semua perikehidupan, mulai dari arisan sampai sekolah, semua menggunakan jejaring virtual.
Yang fisik malah mulai terpinggirkan. Lebih kompleks bertemu secara fisik. Mesti ikut protokol. Masker tak boleh lepas. Jarak harus dijaga.
Apapun pilihan berdemokrasi, esensinya sama: memastikan daulat rakyat menjadi naluri berbangsa.
Pilihan-pilihan teknis, apakah menggunakan virtual, atau datang ke kotak TPS, misalnya, bukan menjadi soal---dalam demokrasi---sepanjang transparansi, kebebasan dan supremasi hukum dirawat.
Persoalannya, faktanya tidak sesederhana itu. Naluri keretakan purba sering menjadi tantangan dalam demokrasi di era virtual.
Pertama, demokrasi masih dipusingkan oleh sensasi-sensasi berbasis etnis, agama atau kelompok.
Kemajemukan dalam bernegara seperti pidato yang diulang-ulang namun mengalami kemiskinan dalam realitas.
Padahal, basis bernegara kita---dulu sampai sekarang---bertahan karena kemajemukan. Perbedaan etnik bahkan cara pandang menjadi kekayaan batin untuk mengelola kompleksitas interaksi di masyarakat. Hal ini yang kemudian mengalami kelongsoran.
Kedua, sensasi berbasis etnis, agama atau kelompok di atas dikapitalisasi oleh berkembangnya era post-truth yang ditandai merebaknya hoaks.
Kebenaran bukan soal kesepadanan antara kata dan fakta. Namun, lebih pada siapa yang menyampaikan. Jika bukan dari golongan kita maka kebenaran dinilai kebohongan. Sebaliknya, bila dari kelompok kita, kebohongan bisa disulap jadi kebenaran.
Semua hanya didasarkan pada sentimentalitas baik moral maupun kultural yang sukar dipertanggungjawabkan.
Ketiga, supremasi hukum. Secara universal, hukum dilambangkan oleh putri yang memegang timbangan ditutup matanya. Kini, tutup mata itu bisa dibuka selubungnya. Untuk mengintip, apakah yang melanggar hukum dari kelompok yang seide dengan kita atau bukan. Apakah yang melanggar kaum berpunya atau marjinal.
Tanpa menggeneralisasi, tapi sukar membantah persepsi publik soal keberpihakan hukum yang seharusnya netral. Apalagi pemujaan terhadap hal-hal yang bersifat material kerap menggusur integritas.
Keempat, solidaritas. Demokrasi bukan persoalan sebatas hak-hak individu ditegakan. Jaminan kebebasan berbicara dilindungi. Atau pemilu jujur dan adil.
Namun, lebih dari itu, demokrasi yang dibutuhkan ke depan adalah demokrasi yang memanjakan solidaritas. Sebab, modal besar apalagi di tengah serangan pandemi Covid-19 adalah solidaritas di ruang publik.
Solidaritas bukan didasarkan pada ancaman, paksaan, atau kepatuhan yang didorong dari luar.
Solidaritas itu muncul ketika akses informasi yang komperhensif terbuka lebar, publik teredukasi baik, sehingga setiap pilihan baik kebijakan atau sikap di ruang publik memang secara kalkulasi diuntungkan jika solidaritas dilembagakan.
Jadi, tumbuh kembang solidaritas karena kesadaran sampai ke akar bahwa kita---manusia---adalah makhluk lemah dan rentan di jagad raya ini.
Tanpa kebersamaan apalagi tanpa merasakan penderitaan satu sama lain, kita akan lumpuh secara eksistensial sebagai manusia.
Kita bisa menjadi monster bagi orang lain tanpa kesadaran akan pentingnya solidaritas apalagi ditengah terjangan pandemi Covid-19.
Uraian panjang lebar soal demokrasi akhirnya bermuara pada otensitas kita dalam berprasangka soal demokrasi.
Ada keterkecohan ketika kita memilih demokrasi maka seolah-olah surga sudah dekat. Negara pasti rapih. Warga tertib. Kesejahteraan tercapai.
Prasangka ini harus dikoreksi. Sebab, demokrasi tidak menjamin hal-hal tadi seperti kotak ajaib sihir yang langsung ada. Melainkan, demokrasi adalah awal kita melihat borok-borok, jerawat atau apapun dari kehidupan bernegara.
Sebab, ketika rezim otoriter masa lalu kita alami, maka segala penyakit bernegara tidak nampak karena hidup dalam halusinasi, hegemoni dan sulap.
Ketika reformasi, demokrasi seperti cermin yang bening, memamerkan segala lekuk anatomi kesalahan kita. Baik dalam tertib sosial yang lemah maupun transparasi yang buram. Bahkan, korupsi sekalipun yang seperti tak pernah habis dipangkas.
Meski demikian, demokrasi memberikan setidaknya harapan bahwa memperbaiki negara dilakukan secara bersama-sama. Segala duka derita dibagi beban.
Maka, pemilu selama ini ditegakkan dengan penuh komitmen dan integritas---dengan segala kekurangannya---dimaksudkan untuk memulai rasa sepenangungan itu ada.
Tentu menuju hal itu tidak mudah karena kita memiliki sekian banyak pekerja rumah seperti soal politik uang, korupsi, oligarki dan penyakit menahun lainnya. Bahkan, hukum pun masih perlu terus menerus dibenahi.
Semua itu tidak untuk membuat kita pesimis. Namun, merangsang menguatkan solidaritas berbasis integritas untuk memperbaiki semua. Cahaya harapan selalu tersedia bagi insan yang membuka hati untuk kemuliaan kepercayaan akan masa depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.