Oleh Leonard Chrysostomos Epafras*
DI MASA kini, virus corona ibarat kotak pandora. Ia yang tadinya hanya fakta medis, ketika tutup kotaknya tersingkap seketika menjadi pandemi. Tak hanya merontokkan imunitas manusia, tapi juga akal sehat.
Di era digital, virus menjangkit, menjangkit pula virus hoaks, rasisme, ujaran kebencian, teori konspirasi, dan ekstremisme agama, yang dibagikan di media sosial. Virus corona merebak, hoaks bergerak.
Meningkatnya pelintiran pesan (hoaks) selama pandemi membuat lembaga-lembaga semacam Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Kemenkominfo, dan lembaga-lembaca cek fakta lainnya harus berjerih lelah meluruskannya. Kemenkominfo mencatat 633 hoaks sepanjang April hingga awal Mei 2020.
Wow, itu berarti dari sekian banyak pesan yang kita konsumsi tiap hari ada 21 hoaks berseliweran, hampir tiap jam terselip satu hoaks di media sosial kita.
Banyak pesan-pesan itu bukan saja lancung tapi berniat memecah belah pembacanya, menimbulkan kebencian antarkelompok sosial. Tengoklah salah satu yang ditangani Mafindo, “Mereka Sudah Mempersiapkan Senjata Tuk Membantai Pribumi” yang sengaja menyudutkan etnik tertentu.
Baca juga: Sebar Hoaks Pasien Positif Covid-19, Pria Ini Ditangkap
Kerusakan yang ditimbulkan pesan semacam ini bertambah parah jika hoaks berjubahkan teori konspirasi.
Ia bergeser dari sekadar salah tangkap pesan (misinformasi) menjadi pelintiran (disinformasi) atau bahkan menjadi fakta “alternatif” yang diniatkan untuk memobilisasi sentimen sosial (malinformasi).
Kalau ini yang menjadi konsumsi harian, gizi pola pikir kita, dunia macam apa menanti di depan?
Kita gagal paham mengapa hoaks tetap diproduksi. Banyak yang mengira, ah itu hanya dikonsumsi orang-orang dangkalan. Orang-orang yang pikirannya lelet.
Penelitian kami terhadap 114 dosen dan mahasiswa dari 33 perguruan tinggi di Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa dunia akademik pun tak lolos dari muslihat ini.
Sebanyak 46 persen menganggap dunia akademik tak beda jauh dengan masyarakat umum dalam kaitan dengan produksi dan konsumsi hoaks.
Kemudian, 13 persen dari mereka bahkan “menenggang” bahwa hoaks boleh saja diproduksi tergantung tujuannya (lihat laporan penelitian di tautan https://www.academia.edu/38441970/Beyond_Signal_and_Noise_Academics_Goes_Hoax_and_Hoaxtivism).
Pesan pelintiran dan berita lancung bukan hal baru dalam sejarah manusia. Semenjak manusia belajar berkomunikasi satu dengan lainnya, kapasitas menyerap pesan orang lain senantiasa mengandung benih keragaman interpretasi dan ambiguitas makna.
Jika pesan itu dilanjutkan kepada pihak lain, tak pelak berpotensi meleset dari makna semula. Itulah kenyataan kemanusiaan dan bagian dari kenyataan hidup sosial.