Dalam konteks nasional yang demikian, tersedia jalan untuk merobohkan tembok penjara itu. Jalan itu adalah sains terbuka.
David Yokum (2016) mengumandangkan bahwa sains terbuka (open science) merupakan kunci bagi psikologi untuk menembus proses politik yang seringkali buta akan dimensi psikologis.
Sains terbuka mendorong evidence-informed governance dengan mengadvokasi praktik yang transparan, akuntabel, dan reprodusibel.
Hal ini karena hanya sains terbuka yang saat ini meminta peneliti untuk membagikan data riset sehingga dapat diuji dan didayagunakan kembali oleh sejawat.
Juga untuk meregistrasikan dugaan-dugaan rasional dari penelitiannya sebelum data dianalisis sehingga tidak terjadi pemutarbalikan hipotesis mengikuti data yang terkumpul.
Serta untuk tidak mengabaikan hasil penelitian yang insignifikan secara statistik karena bisa jadi hasil tersebut mampu memicu inovasi penyelesaian masalah ke depan.
Untungnya, pada tingkat global, psikologi merupakan disiplin yang terdepan dalam memperjuangkan sains terbuka.
Pada November 2017, Monitor on Psychology, sebuah majalah milik American Psychological Association (APA), organisasi profesi psikologi terbesar di dunia, menerbitkan laporan bertajuk Trends Report: Psychologists Embrace Open Science.
Zeitgeist atau ‘semangat zaman’ ini tidak boleh kita sia-siakan. Semangat sains terbuka perlu menjadi spirit pembahasan RUU Profesi Psikologi, lebih-lebih RUU ini tampaknya luput dari perhatian dan perbincangan publik.
Perhatian terhadap Psikolog Akademik
Di era pandemi Covid-19, kita menjadi sangat sadar mengenai pentingnya peran sains. Kebijakan-kebijakan yang tidak berbasis sains kita kritik ramai-ramai, dan kita namai “Kebijakan Anti-sains”.
Baru-baru ini, kasus yang terjadi di dua jurnal terkemuka, The Lancet dan The New England Journal of Medicine (NEJM) membuka mata kita bahwa rekomendasi sains yang tidak mampu dipertanggungjawabkan hanya akan membahayakan kehidupan. Cek di https://science.sciencemag.org/content/368/6496/1167.
Saya melakukan berbagai pengkajian terhadap RUU Profesi Psikologi sejak 2018, dan saya menjumpai fakta bahwa RUU ini belum banyak menaruh perhatian terhadap Psikolog Akademik yang berperan dalam pengembangan sains psikologi.
Profesi Psikolog Akademik bahkan tidak disebut di dalam naskah RUU, dan tersamarkan kedudukannya dengan istilah Tenaga Psikologi.
Kondisi ini membuat RUU mempertahankan status quo selama ini bahwa profesi “Psikolog” hanyalah sebuah profesi yang berpraktik sebagai klinisi (clinician) di ruang-ruang praktik psikolog (meskipun terdapat klaim mengenai peran makro psikologi klinis) dan/atau melaksanakan praktik psikodiagnostik.