Namun, demonstrasi mahasiswa kemudian berubah menjadi tragedi pada 12 Mei 1998.
Baca juga: Ribuan Demonstran Turun Jalan, Kenapa Gerakan Mahasiswa Selalu Terdepan?
Saat itu, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kampus Universitas Trisakti.
Penembakan dan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan mengakibatkan empat mahasiswa Trisakti tewas.
Selain itu, 681 orang juga menjadi korban luka dalam Tragedi Trisakti.
Tidak hanya itu, kerusuhan bernuansa rasial yang terjadi setelah Tragedi Trisakti, pada 13-15 Mei 1998, seakan berusaha mengalihkan perhatian mahasiswa dalam berjuang menuntut mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.
Namun, gerakan mahasiswa tidak terhenti dengan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam Tragedi Trisakti atau kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Dilansir dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016), berbagai elemen aksi mahasiswa kemudian menyatukan gerakan.
Baca juga: Terima 390 Aduan Kekerasan saat Aksi Reformasi Dikorupsi, Tim Advokasi Lapor ke Komnas HAM
Dua kelompok mahasiswa Universitas Indonesia misalnya, Senat Mahasiswa UI dan Keluarga Besar UI, sepakat untuk bergerak bersama.
Pada 18 Mei 1998, para mahasiswa UI ini memutuskan bergerak menuju gedung parlemen untuk melebur dengan kelompok mahasiswa lain yang sejak pagi mengepung gedung DPR/MPR.
Kelompok itu antara lain Forum Kota, PMII, HMI, dan KAMMI.
Namun, kelompok pertama yang berhasil masuk ke dalam gedung DPR/MPR adalah Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Sekitar pukul 11.30 WIB, 50 perwakilan mahasiswa dari FKSMJ dari berbagai kampus masuk ke dalam kompleks parlemen.
Masuknya 50 perwakilan FKSMJ itu membuat kelompok mahasiswa lain melakukan negoisasi agar dapat masuk ke dalam. Sekitar pukul 13.00 WIB, mahasiswa yang berada di luar pun mulai masuk ke dalam.
Pada 18 Mei 1998, sebenarnya tidak hanya mahasiswa yang bergerak ke gedung DPR/MPR.
Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Reformasi Nasional juga mendatangi kompleks parlemen.
Baca juga: Gejayan dan Tugas Reformasi yang Belum Usai...
Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra, dan Sri Edi Swasono.
Tidak hanya itu, para tokoh itu bahkan sempat berorasi di dalam gedung DPR. Salah satunya adalah Dimyati Hartono, yang menuntut reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum; serta tuntutan mundurnya Soeharto-Habibie.
Di tengah audiensi, perwakilan FKSMJ masuk. Mereka memanfaatkan audiensi itu untuk menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR.
Selain perwakilan UI dan FKSMJ, gedung DPR/MPR saat itu sebenarnya juga sudah didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Tuntutannya pun sama, reformasi di segala bidang.
Baca juga: Detik-detik Mahasiswa Kuasai Gedung Parlemen Tuntut Reformasi...
Dalam waktu yang bersamaan, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Dalam pertemuan, Amien Rais menyatakan bahwa Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.
Semakin besarnya tuntutan di gedung DPR/MPR pada hari itu membuat Presiden Soeharto dan Orde Baru semakin terdesak.
Dinamika politik yang ada saat itu pun tidak menguntungkan Presiden Soeharto.
Hingga kemudian, Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Agenda pertama reformasi, yaitu mundurnya Soeharto pun menuai hasil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.