Pada 18 Mei 1998, tak hanya mahasiswa yang bergerak menuju gedung DPR RI. Sejumlah tokoh ikut melebur dalam Gerakan Reformasi Nasional tersebut.
Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra, dan Sri Edi Swasono.
Mereka juga sempat berorasi di dalam gedung DPR. Salah satunya Dimyati Hartono, yang menuntut reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum; serta tuntutan mundurnya Soeharto-Habibie.
Saat itu, dalam audiensi FKSMJ menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk mengganti Soeharto.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Kisah Mahasiswa Kuasai Gedung DPR pada 18 Mei 1998
Selain perwakilan UI dan FKSMJ, gedung DPR saat itu, juga sudah didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyampaikan tuntutan mereka yaitu reformasi di segala bidang.
Dalam hari yang sama, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Dalam pertemuan tersebut, Amien Rais mengatakan, Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.
Hari itu semakin banyak tuntutan yang membuat kepemimpinan Soeharto semakin terdesak.
Baca juga: 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu?
Masih pada hari yang sama, mahasiswa dan aktivis yang ada di dalam gedung DPR mendapat dukungan dari pimpinan DPR/MPR yaitu Harmoko.
Saat itu, Harmoko membuat konferensi pers menyikapi tuntutan reformasi. Bagai petir di siang bolong, saat itu Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari arsip Kompas yang terbit 19 Mei 1998.
"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," tutur Harmoko.
Baca juga: Patahnya Palu dan Firasat Harmoko Ihwal Kejatuhan Soeharto