KOMPAS.com - Kerusuhan di sejumlah kota di Tanah Air, terutama di Jakarta, membuat situasi politik tidak menentu pada pertengahan Mei 1998 itu. Selain itu, masyarakat pun marah dengan pemerintah atas tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam tragedi yang terjadi pada 12 Mei 1998.
Aksi demonstrasi mahasiswa semakin memanas. Puncaknya adalah ketika mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat berhasil menduduki gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998. Mereka mendesak Soeharto segera melepaskan jabatannya sebagai presiden.
Presiden Soeharto saat itu memang terdesak. Rencananya untuk membuat pemerintahan transisi yang tergabung dalam Komite Reformasi sulit terwujud. Padahal, Komite Reformasi diharapkan dapat memuluskan proses pengunduran diri Soeharto setelah pemilu digelar.
Langkah ini juga dibarengi oleh kesepakatan 14 menteri dalam Deklarasi Bappenas yang tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi. Mereka juga tidak bersedia bergabung dalam Kabinet Reformasi hasil reshuffle dan menuntut Soeharto mundur.
Baca juga: Kisah Soeharto Ditolak 14 Menteri dan Isu Mundurnya Wapres Habibie...
Merasa terpukul dan tak menduga mendapatkan sikap seperti itu, akhirnya Soeharto resmi mengundurkan diri dari kursi Presiden pada 21 Mei 1998.
Tepat pukul 09.00 WIB, Soeharto yang mengenakan safari gelap dan berpeci mulai membacakan surat pengunduran diri.
Melalui pernyataan itu, akhirnya tumbanglah Orde Baru yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun lamanya.
Setelah itu, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie ditunjuk untuk menggantikan Soeharto dalam memimpin Indonesia.
Soeharto tentu tidak begitu saja menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie. Sejumlah pertimbangan dimiliki Soeharto setelah bertemu sejumlah orang pada 20 Mei 1998 malam. Namun, Soeharto tidak bertemu Habibie.
Dalam buku Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto yang ditulis adik Soeharto, Probosutedjo, Habibie memang sempat menelepon kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Ketika itu, Habibie menyatakan ingin bertemu.
Namun, Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid yang menerima telepon Habibie menyatakan bahwa Presiden memang enggan ditemui siapa pun.
Habibie sendiri bermaksud bertemu Soeharto setelah sejumlah menteri berkumpul di rumahnya dan bermaksud mundur dari jabatannya. Hal ini dikisahkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie yang ada di kediaman Habibie.
"Malamnya saya mendampingi Pak Habibie menerima para menteri yang mengundurkan diri yang dipimpin oleh Menko Pak Ginandjar Kartasasmita," ujar Jimly saat membuka acara Refleksi 20 Tahun Reformasi, Jakarta, pada 21 Mei 2018.
Setelah para menteri datang dan menyatakan pengunduran diri, Habibie langsung menyuruh ajudannya menelpon ajudan Presiden Soeharto. Malam itu juga, Habibie meminta waktu untuk bertemu Pak Harto.
Namun, ungkap Jimly, telepon itu diserahkan ajudan Pak Harto kepada Menteri Sekretaris Kabinet Saadillah Mursjid.