Pertama, prioritas mendasar (dlaruriyyat) yang menyangkut hak-hak dasar manusia, seperti hak beragama, hak hidup, hak berpikir, hak properti, dan hak keturunan. Kedua, prioritas kebutuhan (hajiyyat) yang mendukung hak-hak dasar. Ketiga, prioritas ornamental (tahsiniyyat) yang mempercantik kedua dimensi sebelumnya.
Ketika Pancasila memuat nilai-nilai dlaruriyyat—karena di dalamnya terdapat perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia— maka dasar negara ini memiliki dua macam tempat di dalam syariah Islam.
Pertama, sebagai unsur hajiyyat yang mendukung terpenuhinya hal-hal dlaruriyyat. Artinya, Pancasila menjadi “wadah” yang memuat, melindungi dan memastikan terlaksananya hak-hak dlaruriyyat.
Kedua, menjadi “manifestasi lokalitas” (tahsiniyyat) dari pelaksanaan (substansi) syariah. Karena menurut para tokoh Islam penanda tangan Piagam Jakarta (1945), sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid maka Pancasila adalah bentuk lokal dari tauhid.
Inilah yang dimaksud Yudian sebagai hukum kepasangan dalam syariah, yaitu ketika hukum Ilahiah hadir dalam “wajah lokal” tempat ia bersemi dan membuahkan kebaikan.
Lalu seperti apakah karakter dari maqashid syari’ah yang selaras dengan prinsip-prinsip teologis Pancasila? Inilah yang layak dibicarakan, terutama di bulan Ramadhan musim krisis corona ini.
Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu kita refleksikan.
Pertama, maqashid syari’ah mengajarkan pada kita bahwa tujuan turunnya syariah Islam adalah untuk melindungi manusia dari kerusakan dan menunjukkan jalan agar manusia mendapatkan kebaikan. Inilah makna dari Islam, yang berarti selamat menuju kedamaian.
Untuk mencapai keselamatan ini, seorang Muslim harus bertauhid. Yakni mengesakan Allah dengan menaati hukum-hukum (ayat)-Nya, baik yang terdapat di Al Quran dan hadist maupun di alam kehidupan dan di diri manusia (QS Fussilat: 53).
Keberhasilan Muslim dalam mengintegrasikan hukum teologis (Qur’aniyyah), hukum alam (kosmos), dan hukum kemanusiaan (kosmis) inilah yang disebut bertauhid (Yudian Wahyudi, 2020:163).
Kedua, lalu seperti apa praksis hukum alam dan kemanusiaan dalam rangka ketuhanan itu?
Dalam konteks hidup berbangsa, rumusannya ada di dalam Pancasila. Yakni bertuhan dengan merawat persatuan-kebangsaan dan kerakyatan-demokrasi (hukum alam kehidupan) demi terwujudnya kesejahteraan manusia (hukum kemanusiaan).
Setiap praktik ibadah yang tidak menguatkan hukum alam dan kemanusiaan ini otomatis tidak sempurna dan akan melahirkan chaos, baik dalam diri manusia maupun alam kehidupannya.
Ramadhan di masa krisis Covid-19 ini menjadi momentum untuk mengamalkan maqashid syari’ah bernuansa Pancasila tersebut.
Artinya, ibadah puasa tidak boleh sekadar menjadi ritus individualis guna pembersihan diri. Ia harus juga menjadi “katarsis sosial” dengan mengamalkan dimensi kasih (rahmah) yang mengangkat harkat sesama di tengah krisis ekonomi yang akut.
Puasa akhirnya tidak hanya mendorong kepekaan sosial, tetapi ia juga harus dipraksiskan melalui “emansipasi sosial” untuk merangkul kaum papa yang terdampak krisis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.