Dedi menegaskan bahwa rencana aksi di tengah wabah Covid-19 bisa saja dibatalkan jika sejak awal DPR dan pemerintah menghapus klaster ketenagakerjaan dalam omnibus law RUU Cipta Kerja.
"Ini bisa kita hindari apabila pemerintah dan DPR sensitif melihat situasi, harusnya hentikan itu pembahasan cipta kerja, selesai, kok," kata Dedi.
Selain itu, Dedi mengungkapkan, sebelumnya pihaknya juga telah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR agar mendapat ruang dialog.
Baca juga: Masyarakat Sipil Mengaku Diblokir Saat DPR Rapat Online RUU Cipta Kerja
Namun demikian, sampai saat ini belum ada respons sehingga aksi pada akhir bulan nanti menjadi jawaban atas tertutupnya ruang audiensi dengan kelompok buruh.
"Karena mereka bersikeras tetap membahas omnibus law RUU Cipta Kerja, oleh karena itu kami juga harus mengambil hak kami dengan penyampaian pendapat di muka umum," ujar dia.
Tak hanya itu, pihaknya menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang tetap membahas omnibus law RUU Cipta Kerja di tengah gelombang PHK akibat pandemi Covid-19.
Dedi mengatakan, seharusnya pemerintah menarik draf RUU Cipta Kerja dan membatalkan pembahasannya.
"Dampak Covid-19 ini banyak, hari ini banyak PHK pekerja buruh besar-besaran. Seharusnya pemerintah menarik draf, sehingga DPR tidak melakukan pembahasan," ujar Dedi.
Dedi meyakini bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah wabah yang disebabkan virus corona justru akan menjadi bumerang.
Baca juga: Pekerja Kena PHK dan Dirumahkan di Jakarta Diminta Daftar Ulang Kartu Prakerja
Sebab, wabah Covid-19 telah membuat perusahaan-perusahaan gulung tikar dan berdampak adanya gelombang PHK.
Menurut Dedi, fakta tersebut tak bisa diabaikan pemerintah agar bisa memuluskan RUU Cipta Kerja.
Jika pemerintah masih saja bersikeras, ia memprediksi banyak investor akan angkat kaki karena pertumbuhan ekonomi tidak jelas.
Baca juga: Rumah Tangga Miskin Terdampak Covid-19 di Jatim Dapat Rp 600.000 Per Bulan, Ini Kriterianya