Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rilis Buku "Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama", Gus Yahya Bicara Relevansi NU

Kompas.com - 11/03/2020, 19:46 WIB
Tsarina Maharani,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Khatib Aam Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf meluncurkan buku berjudul PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Rabu (11/3/2020).

Pria yang akrab disapa Gus Yahya mengatakan, secara garis besar buku yang ia tulis itu membicarakan relevansi organisasi NU bagi masyarakat.

Sebab, ia menilai bahwa saat ini ada potensi NU tidak lagi relevan bagi para warganya dan ditinggalkan.

"Yang saya perhatikan ada ancaman NU menjadi semakan irelevan," kata Gus Yahya saat konferensi pers di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat.

"NU sebagai organisasi cenderung semakin tidak relevan. Berarti satu garis tren. Makin lama orang semakin enggak butuh sama organisasi," ujar Gus Yahya.

Baca juga: PBNU Desak Pemerintah Ambil Langkah Diplomasi Ciptakan Perdamaian di India

Ia melihat, warga NU sendiri tidak lagi menemukan signifikansi NU sebagai organisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Hal yang sama, menurut dia, juga terjadi dalam konteks organisasi NU sebagai rekan pemerintah.

Gus Yahya mengatakan seolah NU hanya dibutuhkan sebagai alat meraih kekuasaan politik.

Dia pun menyinggung soal Ma'ruf Amin yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2019.

"Terhadap counterpart juga NU cenderung makin tidak relevan. Orang makin enggak butuh NU sebagai organisasi," ujar Gus Yahya.

"Kemarin itu pilpres, 58 persen warga NU menurut survei memilih Jokowi-Ma'ruf. Kita tahu Kiai Ma'ruf Amin dipilih sebagai pasangan untuk menarik warga NU supaya mau memilih," tuturnya.

Baca juga: Resolusi Jihad hingga Khittah 1926, Ini Fakta Menarik Nahdlatul Ulama

Dengan demikian, menurut dia, masih ada ada 42 persen warga NU yang tidak mau memilih Rais Aam-nya sendiri sebagai wapres.

"Inilah yang kemudian membuat bagi counterpart kelembagaan juga makin tidak relevan," ucap Gus Yahya.

Khatib Syuriah PBNU, Yahya Cholil StaqufKompas.com/Slamet Priyatin Khatib Syuriah PBNU, Yahya Cholil Staquf
Menurut dia, penyebabnya adalah konstruksi organisasi NU tidak banyak berubah sejak 1952. Gus Yahya mengatakan, pola pikir para pengurus NU hingga kini masih seperti partai politik.

"Ini karena memang kedodoran konstruksi organisasi, jamiyah NU. Karena sejak 1952 ketika NU jadi parpol sampai hari ini, konstruksi organisasi tidak berubah," kata dia.

Gus Yahya mengatakan upaya penyesuaian yang sudah dilakukan NU tampaknya belum terlalu berhasil. Pola hubungan NU sebagai jamiyah atau organisasi kepada jemaah masih sama seperti dulu.

"Sudah ada upaya penyesuaian, tapi masih sangat kurang. Basis konstruksi masih 1952," ujarnya.

Baca juga: Gus Yahya: Saya Tidak Tahu Kenapa Dipilih Jadi Anggota Wantimpres...

Reformasi NU

Oleh karena itu, Gus Yahya menyatakan, perlu ada reformasi di tubuh NU. Tidak hanya reformasi kestrukturan, tetapi juga reformasi pola pikir.

"Ini perlu reformasi tersendiri. Tidak hanya reformasi struktur formal. Tapi juga reformasi mindset. Perlu ada perubahan pola pikir, bahkan mental," kata Gus Yahya.

Gagasan yang ia miliki adalah mengubah konstruksi organisasi NU seperti pemerintahan. Artinya, jamiyah NU sebagai pemerintah dan jemaah NU sebagai warga.

Baca juga: Ketua PBNU Apresiasi Kebijakan Penghentian Sementara Ibadah Haji dan Umrah, Berikut Alasannya

Menurut Gus Yahya, konstruksi ini paling ideal karena warga NU bukan berdasarkan keanggotaan terikat.

"Karena kenyataannya kita tidak punya keanggotaan. Kalau manajemen organisasi asumsinya anggota dalam kontrol organisasi. Anggota itu tanda tangan kesetiaan taat organisasi. Apapun harus ikut. Itu nalar organisasi," tuturnya.

"NU kan enggak begitu. Karena warga bukan keanggotaan yabg terdaftar. Warga adalah kesertaan yang longgar," tutur Gus Yahya.

Ia yakin, melalui konstruksi ini hubungan antara NU sebagai organisasi dengan warganya kembali berfungsi dengan baik.

Namun, dengan konstruksi yang ia sebutkan itu, ada konsekuensi yang harus dilaksanakan NU. Gus Yahya mengatakan NU harus berfungsi menyediakan layanan untuk warganya.

Selanjutnya, NU harus memobilisasi sumber daya untuk kemudian didistribusikan kepada warga. Selain itu, artinya NU harus mampu menetapkan regulasi layanan yang dapat diakses warganya secara adil dan transparan.

"NU harus membangkitkan bobot aktivitasnya yang tadinya ada di pusat, dibalik jadi ke bawah. Jadi ujung tombak aktivitas adalah cabang. PBNU punya tanggung jawab mobilisasi dan mendapatkan sumber daya untuk kemudian dibagi ke bawah untuk dijadikan kegiatan di bawah," kata Gus Yahya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com