JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai aksi "Gejayan Memanggil Lagi" merupakan hal yang biasa.
Aksi tersebut digelar oleh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil untuk menolak omnibus law RUU Cipta Kerja.
"Peristiwa Gejayan itu kita anggap sebagai peristiwa biasa saja, tidak ada yang luar biasa," ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/3/2020).
Baca juga: Aksi Gejayan Memanggil Lagi Tetap Berlangsung meski Yogyakarta Diguyur Hujan
Mahfud mempersilakan elemen masyarakat menggelar aksi unjuk rasa maupun dialog dengan pemerintah terkait sikap penolakan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja.
Sebab, unjuk rasa maupun demonstrasi dilindungi undang-undang (UU).
"Silakan mau demo, unjuk rasa, mau konsultasi apa namanya dialog dengan pemerintah, dialog dengan DPR itu satu hal yang sudah diatur dan dilindungi oleh undang-undang," katanya.
"Jadi itu bagus-bagus saja bagi saya, enggak apa-apa," sambung dia.
Baca juga: Gejayan Memanggil Lagi, Elemen Masyarakat Yogya Tolak Omnibus Law
Mahfud mengatakan, aksi unjuk rasa seperti itu turut membantu proses demokratisasi di Indonesia.
Menurut dia, kelahiran pemerintahan saat ini tak lepas dari peristiwa seperti Gejayan Memanggil pada masa lalu.
"Pemerintah yang sekarang kan juga lahir dari proses-proses itu, kelahiran pemerintah yang ada sekarang kan juga dari berbagai peristiwa seperti itu," jelas dia.
Baca juga: Gejayan Memanggil Lagi, Ini 6 Poin yang Diserukan Aliansi Rakyat Bergerak
Diberitakan sebelumnya, Aliansi Rakyat Bergerak menggelar aksi di Jalan Gejayan, Senin (9/3/2020) untuk menyikapi Omnibus Law.
Aksi ini untuk menyuarakan penolakan terhadap peraturan "sapu jagat".
Humas Aliansi Bergerak, Kontra Tirano mengatakan, perancangan Omnibus Law menyalahi Undang-undang No 12 Tahun 2011.
"Perancangan Omnibus Law ini sendiri menyalahi UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-Peraturan Perundang-undangan," ujar Humas Aliansi Rakyat Bergerak, Kontra Tirano, Senin (9/2/2020).
Baca juga: Aksi Gejayan Memanggil Lagi hingga Sejarah Jalan Moses Gatotkaca
Pemerintah dan DPR yang menutup-nutupi proses pembahasan Omnibus Law menunjukkan tidak ada itikad baik dalam mengelola negara.
Selain itu, perumusan Omnibus Law yang tidak melibatkan peran masyarakat dan lembaga atau organ terkait lainya, membuktikan pemerintah dan DPR melanggar asas good governance, keterbukaan, kepastian hukum, serta keterlibatan publik.
Aliansi Rakyat Bergerak memandang, Omnibus Law akan membuat rakyat semakin miskin, dan tergantung pada mekanisme kebijakan ekonomi yang menyebabkan kesenjangan.
Omnibus Law juga mempercepat kehancuran lingkungan hidup.
"Masalah sosial akan semakin banyak karena ketidakadilan yang tersurat lebih banyak merampas hak-hak pekerja yang selama ini masih diperjuangkan," tegasnya.
Baca juga: Sebelum Bubar, Massa Aksi Gejayan Memanggil Lagi Punguti Sampah di Jalan
Dari pengamatan Kompas.com, sekitar pukul 12.00 WIB Aliansi Masyarakat Bergerak sudah mulai datang di Simpang Tiga Gejayan. Jalan menuju simpang Tiga Gejayan sudah mulai ditutup untuk kendaraan bermotor.
Sementara itu, Ketua BEM KM UGM, M Sulthan Farras mengatakan, Aliansi Mahasiswa UGM ikut turun dalam Gejayan Memanggil.
"Dari update tadi malam estimasi 320 orang (ikut turun ke jalan). Kalau dari Kami BEM KM UGM, berfokus di RUU Cipta Kerja," ucap Ketua BEM KM UGM M Sulthan Farras.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.