Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

2 Permohonan Pengujian UU KPK Hasil Revisi Ditolak MK, Ini Rinciannya

Kompas.com - 30/01/2020, 11:13 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pasca DPR mengesahkan Undang-Undang KPK hasil revisi September 2019 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sejumlah permohonan pengujian pasal atas undang-undang tersebut.

Setidaknya, hingga saat ini sudah ada tujuh permohonan pengujian yang diajukan oleh sejumlah pihak terhadap UU KPK. Ada yang mengajukan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut, ada pula yang mengajukan uji formil.

Dari beberapa permohonan yang diajukan, MK telah memeriksa sejumlah perkara melalui persidangan.

Hingga Rabu (29/1/2020), sebanyak dua perkara telah diputuskan. Kedua perkara itu ditolak oleh MK.

1. Salah obyek

MK menolak permohonan uji materil dan formil Undang-undang KPK hasil revisi yang diajukan puluhan mahasiswa dari sejumlah universitas.

Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar MK, Kamis (28/11/2019).

"Permohonan para pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman dalam sidang.

Dalam pertimbangannya, MK menilai permohonan pemohon salah obyek atau error in objecto.

Pasalnya, dalam gugatannya, pemohon meminta MK menguji Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019. Padahal, pemohon bermaksud mengguggat UU KPK hasil revisi.

UU Nomor 16 Tahun 2019 sendiri mengatur tentang Perkawinan. UU tersebut merupakan aturan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974.

Adapun UU KPK hasil revisi dicatatkan sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019. UU tersebut meripakan aturan perubajan kedua dari UU Nomor 30 Tahun 2002.

"Permohonan para pemohon mengenai pengujian UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah salah obyek, error in objecto," ujar Anwar.

Oleh karena pemohon dianggap telah salah obyek, maka, selanjutnya, Mahkamah tidak lagi mempertimbangkan pengujian pasal-pasal yang dimohonkan.

MK menilai, tidak ada relevansi antara UU Nomor 16 Tahun 2019 dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 atau UU Nomor 19 Tahun 2019.

"Dengan demikian pokok permohonan yang berkaitan dengan norma pada UU Nomor 30 tahun 2002 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut," kata Hakim Enny Nurbaningsih.

Penggugat dalam perkara ini adalah puluhan mahasiswa dari sejumlah universitas.

Mereka melayangkan gugatan uji formil dan materil pada Rabu (18/9/2019). Persidangan atas permohonan ini pun telah digelar beberapa kali.

Pada gugatan formil, para penggugat mempersoalkan proses revisi UU KPK yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU KPK, Nilai Pemohon Tak Jelas Uraikan Kerugian Konstitusionalnya

Rapat-rapat pembahasan revisi UU tersebut dinilai tertutup sehingga tidak memenuhi asas keterbukaan yang diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan tertutup dalam waktu yang sangat terbatas," kata kuasa pemohon, Zico Leonard, dalam gugatan permohonan.

Selain itu, pemohon juga menyoal rapat paripurna DPR yang hanya dihadiri 80 anggota DPR.

Sementara dalam gugatan materil, para penggugat menyoal syarat pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK.

Sejumlah syarat di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik, dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi bagian KPK.

2. Tak berkorelasi

Pada sidang pembacaan putusan yang digelar Rabu (29/1/2020), MK memutuskan untuk menolak gugatan uji materi UU KPK yang dimohonkan dua orang advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario.

Gugatan tersebut mempersoalkan Pasal 37C ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan bahwa "ketentuan mengenai organ pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden".

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan pokok permohonan pemohon tidak dapat diterima.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Anwar Usman saat sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa mereka tidak dapat memahami kerugian konstitusional yang dialami pemohon atas Pasal 37C ayat (2).

Para pemohon menyebutkan bahwa keberadaan UU KPK dalam praktik penyelenggaraan negara mengancam seluruh rakyat Indonesia. Padahal, pasal yang dipersoalkan pemohon memuat tentang pengaturan organ pengawas KPK melalui Peraturan Presiden.

Mahkamah menyebut, kerugian konstitusional para pemohon tidak secara spesifik dan aktual dimuat dalam Pasal 37C ayat (2) itu.

"Para pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK, namun tidak secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh para pemohon," ujar hakim.

"Sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh para pemohon," lanjutnya.

Tidak hanya itu, profesi pemohon sebagai advokat dinilai Mahkamah tidak cukup kuat kedudukannya.

Sehingga, Mahkamah menilai pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional.

"Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukun untuk mengajukan permohonan a quo," kata Anwar.

Dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK, Rabu (18/12/2019), penggugat menyampaikan isi permohonan uji materi mereka, yang banyak menyoal tentang keberadaan Dewan Pengawas KPK.

"Di dalam undang-undang itu tidak ada yang namanya Dewan Pengawas KPK, Dewan Pengawas itu ya KPK itu sendiri ternyata," kata Martinus Butarbutar yang dalam permohonan ini juga bertindak sebagai kuasa hukum.

Argumen Martinus itu didasari pada Pasal 21 ayat 1 huruf a UU KPK. Di situ disebutkan bahwa, KPK terdiri atas Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang, pimpinan KPK yang terdiri dari lima orang anggota KPK, dan pegawai KPK.

Baca juga: MK: UU Pemilu dan UU KPK Baru Paling Banyak Digugat Selama 2019

Kemudian, dalam Pasal 12 ayat 1 disebutkan tentang kewenangan KPK melalukan penyadapan, yang kemudian diatur dalam Pasal 12B bahwa penyadapan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Menurut Martinus, keberadaan pasal-pasal berarti memposisikan KPK meminta izin penyadapan pada diri sendiri, karena tubuh KPK salah satunya terdiri dari Dewan Pengawas.

Oleh karenanya, Martinus menilai keberadaan Dewan Pengawas tidaklah jelas.

3. Perkara yang masih diperiksa

Pemohon uji materi UU KPK Erry Riyana Hardjapamekas bersiap mengikuti uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8/1/2020). Sidang uji materi perubahan undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut mengagendakan perbaikan permohonan dari pemohon. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A Pemohon uji materi UU KPK Erry Riyana Hardjapamekas bersiap mengikuti uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8/1/2020). Sidang uji materi perubahan undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut mengagendakan perbaikan permohonan dari pemohon. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.
Meskipun dua permohonan uji materi UU KPK telah ditolak MK, masih ada sejumlah gugatan lain yang belum diputuskan.

Dari beberapa perkara yang diperiksa MK, salah satunya dimohonkan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.

Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad.

Pemohon didampingi oleh 39 pengacara yang juga pegiat antikorupsi dari berbagai kalangan.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Materil dan Formil UU KPK Hasil Revisi

Dalam persidangan pendahuluan yang digelar Senin (9/12/2019), pemohon mengungkap alasannya mempersoalkan prosedur pembentukan revisi UU KPK.

"Satu hal menarik dalam pembentukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ini adalah tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna mengenai undang-undang ini," kata Kuasa Hukum pemohon, Feri Amsari, dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin.

Dalam catatan pemohon, setidaknya, ada sekitar 180 anggota DPR yang tidak hadir sidang paripurna dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah ada 287 hingga 289 anggota DPR yang hadir dan memenuhi kuorum, padahal secara fisik mereka tidak ada.

Dalam ketentuan tata tertib DPR dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa kata 'dihadiri' merujuk pada kehadiran secara fisik. Sehingga, jika secara fisik tidak ada, maka tidak bisa disebut hadir.

Baca juga: Beda dengan UU KPK, Dewas Evaluasi Pimpinan dan Pegawai Per Tiga Bulan

"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan," ujar Feri.

Tidak hanya itu, pemohon juga mempersoalkan tidak adanya perwakilan KPK yang diikutsertakan dalam pembahasan revisi UU KPK. Padahal, KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok revisi undang-undang.

Pemerintah melalui surat presiden (surpres) tentang revisi UU KPK saat itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

"Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.

Baca juga: Pemohon Sulit Mendapat Alat Bukti Perkara UU KPK, DPR Dituding Sengaja Sembunyikan

Atas hal-hal tersebut, pemohon meminta MK menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Pemohon juga meminta MK menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.

Tidak hanya itu, Agus Rahardjo dan kawan-kawan juga meminta MK menyatakan UU KPK hasil revisi cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

"Dalam pokok permohonan mahkamah menjatuhkan, mengabulkan, permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Feri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com