Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi: Situasi Iklim dan Krisis Ekologi Jadi Penyebab Banjir di Jabodetabek

Kompas.com - 07/01/2020, 06:06 WIB
Tsarina Maharani,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Tubagus Ahmadi mengatakan, ada dua hal yang jadi penyebab banjir besar di Jabodetabek belakangan ini. 

Kedua hal itu adalah situasi iklim dan krisis ekologi. Tubagus menjelaskan salah satu krisis ekologi yang dihadapi saat ini adalah penataan ruang kota yang kurang baik.

"Krisis ekologi yaitu pertama, tata ruang kita tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah, bahkan tidak mampu mengontrol keterlanjuran," ujar Ahmadi dalam konferensi pers tentang bencana banjir Jabodetabek di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Baca juga: Walhi Pertanyakan Implementasi Pergub DKI soal Pengendalian Bencana

Selanjutnya, kata Ahmadi, adalah tata kelola daerah aliran sungai (DAS). 

Ahmadi menilai tak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan DAS di Jakarta sejak zaman pemerintahan Belanda.

"Tata kelola DAS di Jakarta tidak ada perubahan signifikan. Kita ada DAS Cisadane, DAS Ciliwung, dan punya DAS Citarum. Sesungguhnya Jakarta ini wilayah air," jelasnya.

"Pembangunannya juga dulu Gubernur VOC pertama di tahun 1616 membangun Jakarta dengan konsep kota air. Nah, sekarang tata kelola DAS dari sisi kelembagaan juga tidak ada perbaikan," kata Ahmadi.

Ia kemudian menyinggung soal program naturalisasi sungai yang dituangkan dalam Pergub DKI Jakarta.

Meski dinilai lebih baik dari normalisasi, Tubagus mengkritik program naturalisasi karena dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

"Konsep naturalisasi, lebih baik ketimbang normalisasi. Tapi kan naturalisasi ini sebenarnya sudah dilakukan teman-teman komunitas Ciliwung dan sebagainya. Tetapi ketika konsep dituangkan ke pergub, pelibatan masyarakat tidak dimasukkan dalam pergub itu," kata Ahmadi.

"Padahal tantangan naturalisasi adalah gimana ada pelibatan masyarakat di situ," tambahnya.

Baca juga: Meski Lebih Baik daripada Normalisasi, Naturalisasi Sungai Pemprov DKI Tetap Dikritik

 

Di lain sisi, ia juga mengkritik eksekusi normalisasi sungai yang pendekatannya selalu dengan penggusuran warga.

Menurut Ahmadi, Pemprov DKI Jakarta seharusnya bisa memikirkan alternatif lain yang melibatkan partisipasi warga.

"Dalam catatan LBH, normalisasi selalu pendekatannya penggusuran. Memang penggusuran saja PUPR kerjanya? Enggak. Bisa bagaimana membangun permukiman yang adaptif. Apakah dipikirkan? Ini minim partisipasi warga," tutur Ahmadi.

Baca juga: Greenpeace: Kita Harus Siap, Curah Hujan Ekstrem Bisa Jadi Rutin

Namun, ia mengatakan sudah bukan saatnya memperdebatkan konsep naturalisasi atau normalisasi.

Ahmadi menekankan, Pemprov DKI Jakarta harus mampu berkoordinasi dengan baik agar menghasilkan solusi terbaik bagi warga. Ia mencontohkan penanganan sedimentasi.

"Nah, sekarang soal betonisasi dan naturalisasi. Perdebatan mereka artinya menandakan pembangunannya tidak partisipatif. Misal PU betonisasi. Apa kerjaannya hanya betonisasi? Enggak. Banyak tugas PU dalam urusan sungai, bisa sedimentasi," kata Ahmadi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com