Namun saat ini lembaga penegak hukum Indonesia tidak dilengkapi dengan hukum dan alat yang memadai untuk memerangi ancaman siber atau serangan siber.
Oleh karena itu, undang-undang tentang keamanan siber sangat diperlukan karena Indonesia berurusan dengan tingkat ancaman siber yang semakin tinggi.
Tapi saya menemukan fakta menarik di draft RUU KKS yang didistribusikan dua bulan lalu. RUU itu menjadi ancaman serius bagi kebebasan berbicara warga negara dan akan menciptakan lembaga superbody yang akan berada di atas lembaga penegakan hukum.
Hukum akan mempersenjatai negara dalam perang melawan ancaman siber. Regulasi ini akan menunjuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai badan pelaksana untuk berkoordinasi dengan angkatan bersenjata, polisi, kantor jaksa agung, badan intelijen dan kementerian serta lembaga pemerintah lainnya.
Jelas tidak ada keterlibatan multi-pemangku kepentingan dalam proses penyusunan RUU keamanan siber ini, tidak ada diskusi dengan lembaga pemerintah lainnya, tidak ada dialog dengan sektor swasta terkait dengan keamanan siber atau e-commerce, bahkan tidak meminta masukan dari masyarakat sipil.
Itulah sebabnya, SAFEnet berbicara dan meminta legislatif Indonesia untuk membatalkan pengesahan rencana undang-undang keamanan siber yang otoriter itu, dan legislatif akhirnya menarik RUU KKS tersebut pada September lalu. Tapi itu masih jauh dari selesai.
Saya percaya keamanan siber adalah masalah kepercayaan. Untuk mencapai kepercayaan, kuncinya adalah melakukan dialog di tingkat nasional dan juga di tingkat regional untuk mencapai hasil terbaik.
Perusahaan sektor swasta harus bergabung dalam pembahasan ini. Teknolog siber juga harus berpartisipasi. Jadi, perlu banyak tangan untuk menangani masalah rumit seperti keamanan siber.
Tetapi apa arti keamanan dunia maya bagi banyak pembuat hukum/pembuat keputusan di wilayah ini?
Saya pikir negara mendefinisikan keamanan siber sebagai bagian dari keamanan nasional. Negara menggunakan pendekatan keamanan dalam membentuk kebijakan keamanan siber.
Akibatnya, kebijakan keamanan siber seperti itu akan kontraproduktif dan cenderung melanggar hak digital, dan juga mengancam pengakuan hak asasi manusia dan demokrasi.
Selama bertahun-tahun, SAFEnet telah melihat ancaman dunia maya dan serangan dunia maya terhadap para netizen, perempuan, dan komunitas rentan/berisiko seperti jurnalis, aktivis anti-korupsi, aktivis lingkungan, minoritas gender, dan minoritas agama.
Mereka diserang secara digital dan fisik, mengalami doxing, ditangkap, dituntut dengan hukum internet.
Serangan DDoS (distributed denial-of-service) ke outlet media, sensor dengan situs web/akun media sosial menghapus konten, penyadapan yang melanggar hukum, dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Fondasi kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul sedang diserang.