Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KALEIDOSKOP 2019: Tahun Kelam bagi KPK dan Pemberantasan Korupsi...

Kompas.com - 20/12/2019, 13:00 WIB
Ihsanuddin,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2019 menjadi tahun kelam bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya revisi undang-undang yang dinilai bertujuan untuk melemahkan KPK sudah terjadi sejak 2010 lalu, namun baru gol pada tahun ini.

Revisi berjalan mulus dan hanya berlangsung sekitar dua pekan. Kritik dan masukan dari masyarakat, mahasiswa, pegiat antikorupsi, hingga unsur pimpinan KPK hanya dianggap angin lalu.

Selain itu, upaya pelemahan juga dinilai dilakukan secara sistematis lewat memasukkan pimpinan KPK dengan rekam jejak yang bermasalah.

Operasi senyap

Upaya revisi UU KPK muncul pada September 2019. Proses menghidupkan lagi revisi UU KPK yang sempat tertunda beberapa kali ini dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Namun, agenda rapat mengenai pembahasan RUU KPK ini tidak pernah terpublikasikan atau diliput media.

Tiba-tiba saja, pada 6 September, DPR menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR.

Baca juga: Akibat Revisi UU KPK, Indonesia Dinilai Tak Patuh dengan Konvensi Antikorupsi PBB

Proses pengesahan itu berjalan mulus. Hanya lima menit, seluruh anggota DPR yang hadir kompak menyatakan setuju.

Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan papol koalisi.

Setelah sah menjadi RUU Inisiatif DPR, maka draf RUU tersebut langsung dikirim kepada Presiden Joko Widodo.

Semua berjalan begitu cepat dan teratur bak operasi senyap.

Baca juga: Operasi Senyap Revisi UU KPK…

Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan sejumlah tokoh dan budayawan usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Presiden menyatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp;ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan sejumlah tokoh dan budayawan usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Presiden menyatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp;
Restu Jokowi

Tak menunggu waktu lama, Presiden Jokowi langsung mengirimkan surat presiden ke DPR yang isinya menugaskan Menteri Hukum dan HAM untuk membahas revisi kontroversial tersebut.

Pembahasan antara pemerintah dan DPR pun berjalan mulus.

Dalam waktu kurang dari dua pekan, revisi sudah rampung. Tak ada akademisi atau pegiat antikorupsi yang dilibatkan.

Pun pegawai dan pimpinan KPK yang menyampaikan protes atas substansi RUU sama sekali tak diajak berdiskusi.

Akhirnya dalam rapat paripurna 17 September, revisi UU KPK resmi disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca juga: Presiden Mulai Ingkar Janji, Ikut dalam Orkestra Pelemahan KPK...

Pasal Pelemahan

Isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 masih dipenuhi pasal kontroversial yang dianggap dapat melemahkan KPK.

Misalnya, KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dewan pengawas sebagai struktur yang baru dibentuk juga dianggap memiliki kewenangan besar.

logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.
Tugas Dewan Pengawas KPK mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan, serta menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.

Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut setidaknya ada 26 poin dalam UU KPK yang baru yang akan menghambat pemberantasan korupsi.

Baca juga: Ini 26 Poin dari UU KPK Hasil Revisi yang Berisiko Melemahkan KPK

Demo besar-besaran

Setelah UU KPK disahkan, gelombang protes terus membesar. Aksi unjuk rasa besar-besaran dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai penjuru daerah.

Mereka juga menuntut agar Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru.

Aksi protes itu tak jarang diwarnai kericuhan yang menyebabkan korban luka-luka hingga meninggal dunia.

Baca juga: Kisah Feri Amsari Bertemu Jokowi dan Bicarakan Perppu, Presiden Bersama Rakyat atau Partai?

Presiden Jokowi awalnya bergeming atas protes itu. Namun, akhirnya ia menyatakan akan mempertimbangkan aspirasi publik untuk menerbitkan Perppu KPK.

Hal itu disampaikan Jokowi setelah menerima sejumlah tokoh dan pakar hukum di Istana.

Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). Presiden meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP dan mengkaji ulang sejumlah 14 pasal dalam RKUHP yang rencananya akan disahkan pada 24 September 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). Presiden meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP dan mengkaji ulang sejumlah 14 pasal dalam RKUHP yang rencananya akan disahkan pada 24 September 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.
Janji kosong

Namun, Presiden Jokowi pada akhirnya tidak menerbitkan Perppu KPK. Jokowi awalnya beralasan bahwa UU KPK masih dalam proses uji materi di Mahkamah Konsitusi.

Oleh karena itu, ia menilai tak elok jika proses uji materi yang tengah berjalan.

"Kita melihat masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu. Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan, 1 Oktober lalu.

Baca juga: Tak Terbitkan Perppu KPK, Jokowi Kian Tunjukkan Tak Peduli Pemberantasan Korupsi

Selain itu, Jokowi juga beralasan ingin melihat terlebih dulu kerja KPK di bawah naungan UU yang baru, khususnya terkait keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Oleh karena itu, alih-alih menerbitkan Perppu KPK, Jokowi justru sudah menyaring nama-nama yang akan menjabat sebagai anggota dewan pengawas.

Kelima anggota dewan pengawas KPK itu akan dilantik pada Jumat (20/12/2019) hari ini bersama dengan pimpinan KPK Periode 2019-2023.

Nihil OTT

Dua bulan berlalu sejak UU KPK berlaku, dampaknya mulai terlihat. Sudah dua bulan pula KPK tidak menggelar operasi tangkap tangan, sebuah operasi penangkapan pelaku korupsi yang sebelumnya lazim dilakukan KPK

Berdasarkan catatan Kompas.com, OTT terakhir yang dilakukan KPK terjadi pada 16 Oktober 2019, sehari sebelum UU KPK hasil revisi berlaku.

Ketika itu, KPK menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Edlin usai memergoki ajudan Dzulmi menerima uang dari Kepala Dinas PUPR Medan.

Hari itu juga terbilang menjadi hari yang sibuk bagi KPK karena sehari sebelumnya, 15 Oktober 2019, KPK juga menangkap-tangan Bupati Indramayu Supendi. Namun, maraton OTT KPK seolah lenyap setelah UU baru berlaku.

Baca juga: Ketua KPK Ungkap Penyebab Belum Adanya OTT, Bukan karena UU KPK

Ketua KPK terpilih periode 2020-2023 Firli Bahuri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2019)KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN Ketua KPK terpilih periode 2020-2023 Firli Bahuri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2019)
Pimpinan baru yang kontroversial

Selain lewat revisi UU, pelemahan KPK juga disinyalir dilakukan sistematis lewat pemilihan pimpinan KPK yang baru.

Pemilihan yang dilakukan panitia seleksi bentukan Jokowi dan dilanjutkan dengan uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR dinilai gagal melahirkan pimpinan KPK yang berintegritas.

Salah satu nama yang disorot oleh pegiat antikorupsi dan internal KPK adalah Irjen Firli Bahuri. Namun dalam voting di Komisi III DPR, Firli justru terpilih sebagai Ketua KPK.

Padahal, KPK sudah menyurati bahwa Firli pernah divonis melanggar kode etik berat saat menjabat Deputi Penindakan KPK.

Baca juga: Pelanggaran Etik Berat Tak Hambat Firli Jadi Ketua KPK

Vonis itu diberikan karena Firli pernah beberapa kali bertemu dengan mantan Gubernur TGB Zainul Majdi yang tengah terseret kasus di KPK.

Penetapan Firli sebagai pelanggar etik juga berdasarkan peristiwa Firli menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK pada 8 Agustus 2018.

KPK juga mencatat, Firli pernah bertemu dengan petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.

Tahun berat

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, tahun 2019 merupakan tahun yang berat bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal itu mengacu pada revisi Undang-undang KPK yang di dalamnya terdapat beberapa hal yang dinilai melemahkan kewenangan lembaga antirasuah tersebut.

Meski demikian, Agus mengatakan, masyarakat harus tetap optimistis dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi ke depan.

Ia mengatakan, bisa jadi saat ini Presiden Joko Widodo selaku panglima tertinggi pemberantasan korupsi memiliki strategi baru yang lebih efektif.

"Kita harus selalu berharap meskipun tahun 2019 ini adalah tahun berat. Mungkin kita juga perlu merenung, jangan-jangan ada strategi baru yang pengen diperkenalkan oleh panglima pemberantasan korupsi kita. Kita bicara panglima selalu panglimanya adalah presiden," kata Agus dalam acara Malam Penghargaan Anti-Corruption Film Festival 2019 dan Dongeng Kebangsaan di Lotte Shoping Avenue, Jakarta, Minggu (8/12/2019).

Baca juga: Ketua KPK: Jangan-jangan Ada Strategi Pemberantasan Korupsi Baru dari Presiden

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Nasional
PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

Nasional
Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Nasional
Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Nasional
Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Nasional
Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Nasional
Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Nasional
Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com