JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Irjen Firli Bahuri ditetapkan sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.
Rapat Pleno Komisi III mengesahkan voting pemilihan Ketua KPK di antara lima calon pimpinan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019) dini hari.
"Berdasarkan diskusi, musyawarah dari seluruh perwakilan fraksi yang hadir menyepakati untuk menjabat ketua KPK masa bakti 2019-2023 sebagai ketua adalah Saudara Firli Bahuri," ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin saat mengumumkan hasil musyawarah.
Terpilihnya Firli sebagai Ketua KPK yang baru ironis dengan pernyataan KPK yang sebelumnya menyatakan bahwa dia melanggar kode etik berat.
Setidaknya ada tiga peristiwa yang dicatat KPK terkait pelanggaran itu.
Pertama, pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuang Guru Bajang (TGB) di NTB pada 12 dan 13 Mei 2018.
Kemudian, KPK mencatat Firli pernah menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK pada 8 Agustus 2018.
Setelah itu, KPK juga mencatat Firli pernah bertemu dengan petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.
Baca juga: Firli Bahuri, Kontroversi, Petisi hingga Penolakan Pegawai KPK
Bahkan, KPK juga telah menyurati DPR soal rekam jejak dan status Firli itu.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK berharap surat tersebut dapat menjadi pertimbangan DPR dalam proses pemilihan calon pimpinan KPK.
Menurut Saut, seorang pimpinan harus mempunyai integritas serta tidak memiliki afiliasi politik supaya KPK tidak terjerumus dalam pusaran kepentingan politik.
Namun, status Firli seolah dimentahkan.
Klarifikasi Firli
Saat menjalani seleksi, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK pernah menanyakan Firli mengenai laporan masyarakat bahwa Firli pernah menerima gratifikasi.
Gratifikasi itu berupa pembayaran penginapan hotel.
Baca juga: Irjen Firli Jadi Ketua KPK, Anggota Komisi III DPR Minta Korupsi Sektor Migas Diberantas