JAKARTA, KOMPAS.com - Dua bulan sudah berlalu sejak Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku pada 17 Oktober 2019 lalu.
Sudah dua bulan pula Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menggelar operasi tangkap tangan, sebuah operasi penangkapan pelaku korupsi yang sebelumnya lazim dilakukan KPK
Berdasarkan catatan Kompas.com, OTT terakhir yang dilakukan KPK terjadi pada 15-16 Oktober 2019, sehari sebelum UU KPK hasil revisi berlaku.
Ketika itu, KPK menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Edlin usai memergoki ajudan Dzulmi menerima uang dari Kepala Dinas PUPR Medan.
Hari itu juga terbilang menjadi hari yang sibuk bagi KPK karena sehari sebelumnya, 15 Oktober 2019, KPK juga menangkap-tangan Bupati Indramayu Supendi.
Baca juga: Ketua KPK Ungkap Penyebab Belum Adanya OTT, Bukan karena UU KPK
Setelah dua OTT beruntun tersebut, KPK belum lagi mengadakan OTT yang selama ini kerap menggemparkan publik.
Kekhawatiran akan tidak ada OTT sebetulnya sudah didengungkan sejak revisi UU KPK masih bergulir di DPR.
Sebab, revisi UU KPK memangkas kewenangan penyadapan yang menjadi salah satu pintu bagi KPK untuk menyadap seseorang
Pasal 12 B Ayat (1) UU KPK yang baru mengatur bahwa penyadapan mesti dilakukan seizin Dewan Pengawas KPK.
Sedangkan, Pasal 12 B Ayat (4) UU tersebut mengatur bahwa Dewan Pengawas diberikan waktu 1x24 jam untuk memberikan izin tertulis untuk menyadap.
Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, ketentuan itu akan memperlambat kerja KPK dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap.
Baca juga: Selama 4 Tahun, KPK Gelar 87 OTT dan Jerat 327 Tersangka
Selain itu, penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika Dewan Pengawas tidak memberikan izin.
"Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis," kata Donal, Sabtu (14/9/2019).
Bukan Karena UU Baru
Kendati demikian, berlakunya UU KPK hasil revisi mestinya tidak menjadi alasan berhentinya OTT.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.