Litbang Kompas sebelumnya merilis hasil survey keyakinan masyarakat terhadap penyelesaian empat kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yaitu penculikan aktivis 1997-1998, petrus 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.
Dari 1.200 responden yang disurvei dalam rentang waktu 23 September hingga 4 Oktober 2019, mayoritas pesimistis pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Seperti kasus penculikan aktivis, misalnya, hanya 34,5 persen yang menganggap pemerintah akan mampu menyelesaikan. Sedangkan 51,7 persen menilai pemeirntah tak mampu dan 13,8 persen menganggap sangat tidak mampu.
Sedangkan untuk kasus petrus, 48 persen menyatakan pemerintah mampu. Namun, 42,6 persen menyatakan tidak mampu dan 7,2 persen sisanya menyatakan sangat tidak mampu menyelesaikannya.
Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.
Meski pesimistis, mayoritas responden tetap berharap agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui mekanisme pengadilan, baik pengadilan nasional (62,1 persen) maupun internasional (37,2 persen).
Baca juga: Survei Litbang Kompas soal Nasib Kasus HAM di Era Jokowi Selengkapnya
Namun, menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan, tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Seperti kasus Pelanggaran 1965-1966 lantaran telah kehilangan obyek hukum.
"Siapa yang mau dihukum? Siapa juga korbannya? Sudah pada tidak ada. Kenapa itu tidak dinyatakan saja, ini tidak bisa dibawa ke pengadilan. Mari kita akui bahwa peristiwa ini tejadi dan kita sesali dan ditutup kasusnya. Kan bisa?" kata dia.
Akan tetapi, menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, selesai atau tidaknya kasus-kasus sebenarnya tersebut tergantung good will pemerintah, dalam hal ini Jokowi. Sebab, ia menilai, salah satu hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah persoalan politik. Kondisi serupa juga terjadi di negara lain.
"Maka, tergantung Presiden mau atau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," imbuh dia.
Baca juga: Harapan Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Pengungkapan Kebenaran dan Pengadilan
Sementara itu keluarga korban, Syahar Banu dan Maria Katarina Sumarsih, berharap agar pemerintah menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sumarsih yang merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998, mengingatkan Jokowi untuk tetap memegang teguh komitmen yang pernah dijanjikan sebelumnya.
"Harapan saya, Indonesia jangan dijadikan negara impunitas (kondisi di mana segelintir pihak yang melakukan kejahatan tidak bisa dipidana). Hendaknya Bapak Presiden Joko Widodo berkomitmen pada sumpah beliau untuk patuh kepada UUD 1945 yang mana Indonesia adalah negara hukum,” kata Sumarsih di Kantor Komnas HAM, Jakarta.
Di dalam dokumen visi misi Nawa Cita pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi berjanji akan menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan. Kasus itu meliputi kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Sementara Syahar, keluarga korban peristiwa Tanjung Priok, berharap, agar pelaku dan aktor intelektual di balik peristiwa itu dapat terungkap. Meski proses hukum atas peristiwa ini ada, namun ia menilai, masih ada hal yang mengganjal di dalam proses penyelesaiannya.
“Ada hak yang paling kami inginkan untuk diungkapkan, yakni pengungkapan kebenaran," pungkasnya.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Deti Mega Purnamasari, Dian Erika Nugraheny, Devina Halim)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.