Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Democracy for Sale" dan Defisit Hukum

Kompas.com - 04/11/2019, 07:03 WIB
Raden Muhammad Mihradi,
Heru Margianto

Tim Redaksi

DALAM viral debat yang dinilai tanpa adab antara Arteria Dahlan (Anggota DPR-RI dari PDI-P) dengan Prof. Emil Salim soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), isu democracy for sale mulai digugat.

Sebenarnya, Prof Emil hendak memaparkan penelitian mutakhir yang dibukukan karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot yang berjudul Democracy for Sale (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019:323) yang bercerita mengenai pembusukan demokrasi di Indonesia.

Penelitian tersebut menguraikan, betapa pahitnya demokrasi di Indonesia karena merupakan produk karakter oligarkis politik Indonesia yang bersenyawa dengan klientelistik kampanye pemilihan elite politik kita.

Di sana, biaya kampanye yang sangat besar dapat menjelaskan kegagalan demokrasi Indonesia untuk membatasi dominasi politik elite ekonomi dan bisnis yang telah ditempa puluhan tahun di era Orde Baru. Politik cukong menjadi biasa.

Seorang politisi yang tidak memiliki kecukupan modal biasanya membutuhkan seorang pendana untuk mendanai upayanya masuk ke parlemen. Tapi, seperti kita tahu, tidak pernah ada makan siang gratis.

Nah, ketika Sang Politisi itu berhasil lolos masuk parlemen, ada balasan yang harus dia kembalikan untuk membayar ongkos politik yang ditanggung Sang Pendana.

Bayarannya bukan berupa uang, tapi bisa bantuan dalam berbagai hal yang dibutuhkan Sang Pendana terkait operasional bisnisnya. Perizinan dagang, misalnya. 

Pola semacam inilah yang merusaka tatanan bernegara. 

Ini yang ingin disampaikan Prof Emil soal krisis kepercayaan pada parlemen yang banal oknumnya terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari KPK.

Sayang diskusi viral itu berakhir gaduh sehingga menghapus jejak esensi.

Letak hukum dalam demokrasi

Bagi penulis, awal anomali Indonesia pasca-Orde Baru (Orba) adalah berpisahnya hukum dari demokrasi.

Ketika pemilu dinilai semakin membaik, partisipasi, transparansi dan akses informasi mulai tumbuh kembang, penegakan hukum malah mengalami kemerosotan hebat.

Maka, tanpa sadar, demokrasi yang kita rebut dari rezim Orba dengan susah payah bisa jadi bermutasi menjadi oligarki.

Sesungguhnya,  hukum merupakan bagian orisinil dari demokrasi modern. Jika hukum sudah tiada, pilihannya tinggal dua: oligarki atau anarki.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Bagi penulis, transisi otoriterian ke demokrasi selama ini tidak pernah tuntas. Berbagai rezim pascareformasi selalu meninggalkan hutang pembangunan hukum yang terbengkalai.

Kadang, kalaupun hukum diperbaiki dari satu rezim ke rezim lain, selalu tidak utuh. Kerap hukum sekadar diartikan sebagai fabrikasi undang-undang. Atau pada fase lain diartikan sebagai rezim perizinan yang mengganggu investasi.

Padahal, hukum tidak sepicik itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com