Bila mengacu pada Bernard Arief Sidharta (Refleksi Struktur Ilmu Hukum, 2009:116), hukum merupakan gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk. Mempunyai banyak aspek, dimensi dan faset.
Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat.
Bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri.
Atas dasar itu, maka hukum memiliki kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara apa yang sudah dicapai) juga modernisme (membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan).
Dengan kata lain, mendiskusikan hukum memiliki kompleksitas sendiri.
Bila mengikuti pemikiran Prof Mochtar Kusumaatmadja (Konsep Hukum dalam Pembangunan, 2013), membincang hukum bisa dilakukan dalam konteks menelaah kaidah dan asas yang mengatur hidup manusia, bisa juga dalam konteks lembaga dan prosesnya.
Ketika hukum dimutilasi sekedar undang-undang misalnya, maka bagi penulis, hukum tidak dapat bekerja mewujudkan trilogi tujuannya yaitu ketertiban, keadilan dan kepastian bagi masyarakat.
Demokrasi terus diperbaiki. Kelembagaan dan sistem dibenahi. Pemilu dipercanggih dengan berbagai modifikasi mulai dari pemilu perwakilan hingga pemilu langsung dan serentak.
Namun ketika saat bersamaan hukumnya ditinggal maka hukum bisa menjadi tergelincir seperti stempel pengabsah kekuasaan.
Inilah yang penulis khawatirkan, ketika wacana oposisi dalam sistem pemerintahan kita mulai diabaikan dengan alasan kegotongroyongan.
Maka, kelompok dominan menjadi pengarusutama isu publik.
Kelompok marginal tidak berani bersuara. Apalagi hukum belum pasti melindungi mereka ketika memilih berbeda pendapat dalam demokrasi yang minus hukum.
Longsornya keberadaan hukum semakin berbahaya ketika demokrasi masuk di abad digital. Siapapun bias berlindung di anonimnya identitas di dunia maya. Mereka yang bersembunyi itu dapat melakukan pembantaian opini kepada kelompok yang bersuara berbeda.
Media sosial (medsos) menjadi sejenis “permainan dan perangkap baru” ketika nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya mengendap di publik.
Ketika medsos dipenuhi caci maki, penegakan hukum diduga diskriminasi, maka demokrasi bisa dibibir jurang.
Ada suara-suara parau yang menganggap, (belum tentu benar), bahwa pelaku pelanggar hukum yang dekat dengan kekuasaan tidak akan pernah tersentuh hukum.
Sebaliknya, bila pelaku bukan bagian dari kekuasaan, demikian suara parau itu, pengadilan dan penjara seperti bagian dari keniscayaan.
Ini membuat semakin kompleks agenda pembangunan hukum.