Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU MD3 dan Pimpinan MPR, Potret Pragmatisnya Politisi Kita

Kompas.com - 08/10/2019, 07:14 WIB
Ahmad Nurcholis,
Heru Margianto

Tim Redaksi


PENGESAHAN revisi RUU MD3 terbaru (MPR, DPR, DPD, DPRD) dengan menambah jumlah kursi pimpinan MPR dari 7 menjadi 10 semakin menegaskan perilaku parlemen yang kian condong ke arah pragmatisme politik.

Meski secara kelembagaan, MPR, DPR serta DPD memiliki tugas fungsi dan wewenang berbeda, namun konfigurasi kekuatan serta sumber kompetisi politik mereka berasal dari kelompok yang sama yakni partai politik dan senator yang mewakili masing-masing daerah.

Bahkan tak sedikit dari senator yang ada juga merangkap sebagai pengurus partai.

Hal ini bisa dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Indonesian Parliamentary Center pada tahun 2017. Banyak dari anggota DPD terafiliasi dengan partai politik.

Hanura berada di tempat pertama dengan jumlah anggota terafiliasi 28 orang.

Oleh karena itu bisa dipahami, sifat, perilaku, dan dinamika politik di antara ketiga lembaga: MPR, DPR, DPD adalah sama.

Ketiganya saling berkelindan, saling mempengaruhi, bahkan kadangkala tak bisa dipisahkan.

Fokus berselisih ketimbang kerja

Tak aneh, atmosfer politik parlemen lebih sering diwarnai riak-riak perselisihan antar fraksi dan anggota dibanding fokus pada kinerja lembaga.

Tahun 2014, kita pernah menyaksikan dualisme kepemimpinan DPR antara KMP dan KIH yang menyebabkan lembaga tersebut vakum selama beberapa bulan.

Di tahun 2017, sebaliknya, DPD mengalami konflik yang sama.

Para anggota DPD berlomba-lomba memperebutkan kursi pimpinan sebagai impak dari revisi Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang masa jabatan pimpinan dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan sebagai pemicunya (IPC, Katastrofi Dewan Perwakilan Daerah).

Buntutnya, alih-alih fokus pada kinerja penguatan legislasi, aspirasi daerah dan pengawasan terhadap pemerintah, justru parlemen kita kian larut dalam perlombaan penguasaan pos-pos strategis struktur kelembagaan.

Adapun munculnya inisiasi soal penambahan pucuk pimpinan MPR belakangan, jika ditarik jauh ke sejarah konflik parlemen, tentu tidak terlepas dari formasi politik awal yang timbul pasca terpecahnya fraksi partai ke dalam kubu KMP dan KIH tersebut.

Revisi UU MD3 dan hasrat kuasa

Sepanjang 2014 awal, UU MD3 memang menjadi isu panas yang tak pernah habis dibahas. Terhitung sejak 2014 hingga 2019, UU MD3 telah tiga kali mengalami revisi.

Berdasarkan laporan Kompas, revisi pertama disahkan pada 5 Desember 2014 dengan substansi perubahan pada sistem pemilihan ketua DPR dari sistem proporsional ke sistem paket.

Perubahan ini menyebabkan tersingkirnya PDI-P dan sekutunya dari struktur kekuasaan parlemen meski mereka adalah pemenang pemilu.

Musababnya, pemilihan lewat skema paket saat itu mengharuskan setiap calon pimpinan yang diajukan partai terintegrasi dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga kekuatan koalisi menjadi penentu.

Kekuatan politik KIH yang dikomandoi PDI-P di parlemen saat itu masih kalah besar dibanding KMP.

KIH hanya terdiri dari PDI-P, PKB, Hanura, dan Nasdem. Sementara KMP diisi Gerindra, PAN, PKS, Golkar, dan PPP. Sedangkan Demokrat berada di tengah-tengah, berdiri sendiri sebagai kekuatan oposisi tanpa barisan koalisi.

Namun di tengah perjalanan, peta koalisi politik berubah.

 

Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, PKB, Nasional Demokrat, PPP, dan Hanura yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIB) melayangkan pernyataan tentang mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (29/10/2014). Pimpinan DPR dinilai tidak cakap dalam menjalankan tugasnya sehingga merugikan hak konstitusi anggota dewan.KOMPAS / HERU SRI KUMORO Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, PKB, Nasional Demokrat, PPP, dan Hanura yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIB) melayangkan pernyataan tentang mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (29/10/2014). Pimpinan DPR dinilai tidak cakap dalam menjalankan tugasnya sehingga merugikan hak konstitusi anggota dewan.

Beberapa partai seperti PAN, Golkar, PPP yang semula bersama KMP menyeberang ke KIH setelah mendapat posisi menteri.

Perubahan peta koalisi ini telah mendorong diadakannya kembali revisi UU MD3. Kali ini untuk mengakomodasi kepentingan KIH yang belum sempat merasakan struktur jabatan di parlemen.

Hasrat kuasa ini baru terpenuhi setelah diadakannya revisi kedua atas UU MD3 dengan menambah 1 pimpinan DPR, 3 pimpinan MPR, dan 1 pimpinan DPD dengan catatan bahwa UU hasil revisi yang baru ini hanya berlaku sampai 2019.

Setelahnya, UU MD3 akan kembali ke sistem proporsional menggantikan sistem paket pemilihan pimpinan DPR terdahulu (Tirto, 8/2/2018).

Namun, belum sempat UU MD3 hasil revisi tahun 2018 dilaksanakan, UU tersebut kembali direvisi dengan inisiasi menambah pimpinan MPR menjadi 10 (Sindonews, 30/08/2019).

Hal itu berlaku sejak 6 September 2019 (Kompas, 16/09/2019). Beberapa minggu sebelum pelantikan dewan yang baru.

Paradoks

Kesigapan DPR menyelesaikan RUU MD3 menjelang masa akhirnya sungguh paradoks. Antusiasme dewan terhadap UU yang membawa keuntungan bagi kelompoknya patut disasar sebagai sebuah petaka.

Pasalnya mereka tampak lamban bilamana menyangkut UU yang terkait kepentingan publik.

Bahkan kalaupun berhasil menyelesaikan, UU yang dinanti publik tersebut jauh dari ekspektasi dan mengecewakan. Fenomena demonstrasi akhir-akhir ini menangkap gejala kekecewaan tersebut.

Karenanya, revisi ketiga UU MD3 melalui penambahan jumlah pimpinan MPR, dari 7 menjadi 10 nyatanya telah menegaskan prahara politik kebangsaan baru.

Di tengah tuntutan rakyat yang tak kunjung digubris, bagi-bagi pos jabatan antar fraksi parlemen tentu menegasikan eksistensi tugas penting mereka yang lebih substantif.

Majelis Rakyat yang seharusnya peka terhadap aspirasi, malah mengangkangi suara konstituennya sendiri. Kepentingan rakyat tak pernah diakomodasi.

Titik tekannya adalah bahwa revisi penambahan jumlah pimpinan MPR lebih menggambarkan akomodasi kepentingan parsial yang terus menerus diulang dibandingkan kepentingan yang lebih subtil, menyeluruh, bagi rakyat Indonesia.

Toh polemik UU KPK sekarang bersumber dari ketidakpekaan mereka terhadap masukan dan aspirasi masyarakat serta kelompok sipil kebanyakan. Mereka abai dan tak pernah mendengar.

Minim urgensi

Dengan demikian, penambahan pimpinan MPR sebetulnya minim urgensi. Akomodasi berbagai kelompok kepentingan di kursi pimpinan MPR baik dari fraksi dan kelompok anggota memang ditengarai hanya untuk memuluskan wacana pengaktifan kembali GBHN melalui perubahan terbatas UUD 1945.

Wacana ini muncul atas inisiasi PDI-P dan merupakan hasil keputusan Kongres Nasional Partai ke V di Bali pada 10 Agustus 2019 (Kompas, 10/08/2019).

Saat itu disebutkan pentingnya menghidupkan kembali GBHN sebagai arah dan tuntunan pembangunan Indonesia ke depan.

Tujuannya agar setiap kali rezim berganti, pemerintah tetap berada dalam on the track pembangunan berkelanjutan dengan haluan yang telah ditetapkan (Tempo, 10/08/2019).

Wacana ini juga sudah jauh hari mendapat tentangan keras dari publik.

Sebagaimana dilaporkan oleh PHSK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) dalam catatannya “5 Alasan Menolak Upaya Mengembalikan GBHN Melalui Amandemen UUD 1945”, ada lima faktor mengapa reaktivasi GBHN mesti ditolak.

 

Aktivis membawa poster bergambar saat aksi demonstrasi menolak revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) di Blitar, Jawa Timur, Senin (26/2/2018). Dalam aksi tersebut, sejumlah aktivis dan masyarakat dari Koalisi Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) menyatakan menolak revisi UU MD3 karena dianggap bisa mengancam proses pemberantasan korupsi serta mencederai demokrasi.ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI Aktivis membawa poster bergambar saat aksi demonstrasi menolak revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) di Blitar, Jawa Timur, Senin (26/2/2018). Dalam aksi tersebut, sejumlah aktivis dan masyarakat dari Koalisi Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) menyatakan menolak revisi UU MD3 karena dianggap bisa mengancam proses pemberantasan korupsi serta mencederai demokrasi.

Pertama, merusak sistem presidensial. Bila GBHN dihidupkan, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara dengan konsekuensi pemilu presiden dikembalikan melalui sistem parlemen.

GBHN akan merusak ketatanegaraan yang telah ajeg pasca reformasi dimana presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR. Logika GBHN tidak cocok dengan sistem presidensial.

Kedua, melawan arus sejarah, sebab esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang yang akhirnya membuka peluang instabilitas politik dengan berbagai isu pemakzulan seperti terjadi di masa lalu (Soekarno dan Gusdur).

Ketiga, memperburuk kinerja parlemen, sebab upaya amandemen UUD 1945 memerlukan waktu yang panjang dan kompleks sehingga tugas-tugas legislasi DPR dan DPD akan terbengkalai.

Keempat, melawan komitmen arah pembangunan yang telah ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025 berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007.

Kelima, melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan sebab wacana GBHN yang muncul bersifat elitis bukan atas dasar kepentingan rakyat.

Disorientasi lembaga

Singkatnya, penambahan pimpinan MPR justru hanya akan menambah beban dan polemik baru di tengah maraknya penentangan terhadap wacana menghidupkan kembali GBHN dan tidak berkualitasnya beragam undang-undang yang telah dihasilkan.

Sekadar menyebut beberapa UU dan RUU bermasalah (UU KPK, RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan).

Bila benar wacana perubahan terbatas UUD 1945 yang notabenenya merupakan basis hukum tertinggi negara melalui MPR itu tetap dilakukan, sudah dipastikan itu hanya akan semakin memperuncing masalah baru.

Persoalannya masyarakat masih skeptis akan lahirnya hasil yang maksimal melalui perubahan terbatas UUD 1945 lewat reaktivasi GBHN kelak.

Meski wajah parlemen telah berganti, namun itu bukan jaminan. Lantaran sebagian di antara mereka adalah orang-orang lama.

Seperti disampaikan Ketua KPU, Evi Novida Ginting Manik, 50,26 persen anggota DPR adalah petahana (Kompas, 04/09/2019). Sementara berdasarkan catatan Jawa Pos, 32, 35 persen anggota DPD diisi kembali oleh wajah lama (21/05/2019).

Sebetulnya penambahan pimpinan MPR bisa dibaca sebagai jalan lain atau sekedar win-win solution antar kepentingan politik di parlemen.

Tentu hal ini tidak menyentuh basis persoalan. Tidak ada relasi yang rasional antara penambahan pimpinan dengan jaminan substansi kinerja lembaga.

Sebab berdasarkan Pasal 16 UU MD3, tugas pimpinan MPR hanya sebagai berikut: memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua; menjadi juru bicara MPR; melaksanakan putusan MPR; mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; mewakili MPR di pengadilan; menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.

 

Ketua MPR periode 2019-2024 Bambang Soesatyo (kiri) dan sembilan pimpinan MPR lainnya mengucapkan sumpah jabatan saat pelantikan di ruang rapat Paripurna MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Sidang Paripurna tersebut menetapkan Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR periode 2019-2024 dengan Wakil Ketua, Ahmad Basarah dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerindra, Lestari Moerdijat dari Fraksi Partai Nasdem, Jazilul Fawaid dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Syarief Hasan dari Fraksi Partai Demokrat, Zulkifli Hasan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Hidayat Nur Wahid dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fadel Muhammad dari Kelompok DPD di MPR. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI Ketua MPR periode 2019-2024 Bambang Soesatyo (kiri) dan sembilan pimpinan MPR lainnya mengucapkan sumpah jabatan saat pelantikan di ruang rapat Paripurna MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Sidang Paripurna tersebut menetapkan Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR periode 2019-2024 dengan Wakil Ketua, Ahmad Basarah dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerindra, Lestari Moerdijat dari Fraksi Partai Nasdem, Jazilul Fawaid dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Syarief Hasan dari Fraksi Partai Demokrat, Zulkifli Hasan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Hidayat Nur Wahid dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fadel Muhammad dari Kelompok DPD di MPR. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Dari tugas tersebut tidak ada yang istimewa. Sebab itu patut dicurigai bahwa penambahan pimpinan MPR barangkali hanya mengerucut pada satu faktor: “menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR”.

Fenomena akomodasi bagi-bagi jatah atas kepentingan antar fraksi ini merupakan preseden buruk bagi kelangsungan kinerja lembaga MPR ke depan.

Bila bersandar pada fakta derertan historis kisruh awal UU MD3 antara KMP-KIH, nyatanya usulan penambahan jumlah pimpinan MPR memang tidak secara susbtansial dimaksudkan untuk efektifitas dan penopang produktivitas kerja lembaga, melainkan hanya untuk meredam hasrat kuasa antar fraksi semata.

Realitas ini tentu sangat berbahaya bagi orientasi paradigma MPR sebagai representasi majelis kedaulatan rakyat.

Alih-alih memperhatikan kepentingan rakyat, mendengarkan aspirasi mereka, MPR kita sibuk untuk urusan adu kuasa jabatan.

Logika menambah pimpinan sebagai syarat menopang kinerja lembaga tidak dapat diterima oleh nalar publik.

Sebab pada akhirnya, kualitas lembaga ditentukan oleh isi kepala anggota secara keseluruhan. Pimpinan hanyalah struktur artifisial lembaga.

Dengan berbagai impak yang telah dipaparkan, penambahan jumlah pimpinan MPR niscaya akan lebih banyak melahirkan mudharat ketimbang asas manfaat kelembagaan.

Kengototan antar fraksi di MPR menambah kursi pimpinan merupakan cerminan disorientasi sikap wakil rakyat.

Sebab aspek-aspek pemantapan suprastruktur lembaga sebagai penopang kinerja, tidak relevan dan tidak sinkron apabila dilakukan melalui penambahan kursi pimpinan.

Justru restrukturisasi ini kian memberatkan cost anggaran negara dalam membiaya seluruh fasilitas dan tunjangan pimpinan baru.

Sementara banyak-sedikitnya jumlah pimpinan MPR bukan parameter dan bukan jaminan akan tercapainya target-target konstitusi.

Karenanya, ke depan, penambahan jumlah pimpinan harus ditinjau ulang dengan berdasarkan asas manfaat, efisiensi dan efektifitas kerja lembaga.

MPR harus membuka mata, banyak persoalan terkait kedaulatan rakyat yang lebih serius nan subtil untuk diselesaikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com