Penulis pernah membaca komentar di media sosial yang lebih buruk, berkali-kali lipat lebih hitam, dengan ancaman dan cacian, dan penuh frasa merendahkan. Namun tidak ada satu pun harus naik menjadi problem hukum.
Anehnya di dunia pendidikan tinggi, parole serupa punktuasi kopi tanpa gula itu malah membuat sang kolega menjadi mudah tersinggung bak tersengat lebah.
Baca juga: Fakta Dosen Jadi Tersangka karena Kritisi Dekan di Grup WhatsApp
Bukankah dunia kampus adalah tempat paling ideal untuk melakukan kritik, self-criticism, dan bersikap rasional dan dewasa tanpa perlu cepat-cepat marah, tersinggung, dan terhina? Dunia kampus adalah tempat hidupnya rasionalitas dan kempisnya emosionalitas.
Kampus bukan tempat bagi tersemainya tradisi feodalisme layaknya ningrat mempekerjakan para kuli; terus bekerja tanpa bertanya.
Mengutip kata bijak mantan perdana menteri Inggris, Benjamin Disraeli (21 December 1804 – 19 April 1881), “universitas seharusnya menjadi tempat penuh kemilau cahaya, kebebasan, dan pembelajaran”.
Ironi kedua, instrumen hukum yang menjerat. UU ITE telah melahirkan ironi tersendiri di tengah dunia yang semakin demokratis dan digitalistik.
Padahal jika dilihat sejarah hadirnya undang-undang ITE adalah merespons perubahan kehidupan publik terkait semakin eksisnya kejahatan dunia maya seperti pornografi, perjudian, pemerasan digital, kabar bohong, ancaman kekerasan dan menakut-takuti, akses komputer tanpa izin (cracking), penyadapan, pembukaan informasi rahasia, hingga pemalsuan dokumen (phising).
Namun sayangnya UU ITE menjadi gurita yang melilit kritisisme sipil dengan pasal hatzaai artikelen. Kritik dianggap “mencemarkan nama baik” penguasa. Sayangnya kini yang disebut dengan penguasa adalah pimpinan perguruan tinggi.
Di kampus saya sendiri pernah muncul kasus kriminalisasi atas dasar UU ITE, ketika seorang mahasiswa yang curhat di media sosial tidak bisa ikut yudisium ditersangkakan setelah sang dosen yang disentil tersinggung.
Saya mencoba memediasi agar masalah itu tidak masuk ke ranah hukum, tapi gagal. Akhirnya ketika kasus ini masuk ke pengadilan, saya bersedia menjadi saksi ahli bahasa untuk meringankan sang mahasiswa.
Putusan pengadilan negeri akhirnya membebaskan mahasiswa dari segala tuduhan.
Namun “korban” masih penasaran dan membawa hingga proses banding. Putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan hukuman percobaan setelah melewati waktu yang lama lebih setahun.
Apa yang didapatkan? Arang habis besi binasa. Dunia kampus malah menjadi tercemar.
Ironi pendidikan tinggi
Pada titik ini baik juga menimbang konstruksi kelembagaan pendidikan tinggi, bahwa kehadiran struktur pengelola dan pimpinan di dunia pendidikan tinggi ialah menegakkan tujuan utama pendidikan, yaitu mengajar dan mengembangkan inovasi, kreativitas, dan sikap ilmiah.