Pendidikan tinggi seperti model pendidikan ajar pada umumnya, tetap mengedepankan adab ilmiah dan rasionalitas dalam proses pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tak ada yang lebih utama kecuali mengajar.
Menjabat hanyalah tugas tambahan. Jadi bukan berarti ketika menjadi rektor, dekan, dan pimpinan di perguruan tinggi posisinya menjadi setengah dewa atau penguasa.
Fungsi eksistensialnya tetaplah dosen sebagai transformator pengetahuan dan moral. Fungsi itu tidak lebih kecil dibandingkan pejabat struktural.
Hubungan antara sang pelaksana struktur (the governor) dan dosen yang diatur (the governed) adalah emansipatif, dialogis, dan kekerabatan, bukan hirarkis, dominatif, dan feodal.
Problem saat ini, pola kepemimpinan kampus telah bergeser ke arah pengelolaan massa-politik seperti yang dipraktikkan pada pejabat publik dan politikus.
Akibatnya nilai-nilai kepemimpinan hilang. Yang tertinggal hanya kecakapan teknis – atau menjadi teknisi proyek – tanpa nilai etik kepemimpinan (Partha Chatterjee, Politic of the Governed: Reflections on Most Popular Politics in Most of the World, 2004).
Pimpinan perguruan tinggi menjadi berjarak, layaknya manejer atau mandor yang menggunakan instruksi hirarkisnya untuk menekan dan membuat kebijakan direktif, bukan deliberatif.
Saatnya nilai-nilai kepemimpinan di kampus harus kembali dihidupkan. Tak perlu tipis telinga ketika mendapatkan kritik.
Kritik adalah bagian yang menyehatkan pikiran. Jika tak siap dikritik, jangan jadi pimpinan.
Meskipun kita boleh berharap kualitas kritik harus terus dikembangkan, tidak menyerang pribadi atau merendahkan kemanusiaan (ad hominem). Namun tanpa ruang yang cukup, budaya kritik tak akan bisa mekar dan produktif di perguruan tinggi.
Hal yang harus diupayakan dengan segenap kewaspadaan ialah perguruan tinggi harus bisa menjadi centre of excellence, bukan huma bagi kolonialisme dan despotisme.
Jangan lagi ada kriminalisasi dosen atau mahasiswa oleh institusi kampusnya sendiri. Jangan lagi ada kolonialisme hukum nir-keadilan yang menggunakan UU ITE di sembarang tempat yang tujuannya malah membungkam ekspresi dan kebebasan berpikir.
Insan kampus harus terdidik, bersikap adil, dan manusiawi bahkan sejak dalam pikiran. (Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.