JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretariat Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan berpotensi melanggengkan konflik agraria karena tak ada lembaga independen yang bertugas untuk menyelesaikan konflik.
Hal itu disampaikan Dewi saat diskusi bertajuk "Pro-Kontra RUU Pertanahan dan Implikasinya terhadap Rencana Pemindahan Ibu Kota" di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (9/9/2019).
"RUU Pertanahan tak memandang penting adanya lembaga independen yang berwenang menyelesaikan konflik agraria yang bersifat struktural, masif, berskala, berdampak luas, dan lintas sektor. Yang diusulkan malah lembaga peradilan pertanahan," ujar Dewi.
Baca juga: RUU Pertanahan Dianggap Beri Impunitas untuk Korporasi
"Jika lewat lembaga peradilan, akan tumpang tindih kewenangannya dengan pengadilan umum atau peradilan tata usaha negara yang ada. Jadi, pemerintah abai, berarti akan membiarkan konflik itu terjadi," sambungnya.
Ia menjelaskan, merujuk catatan KPA, jumlah konflik agraria pada rentang tahun 2015-2018 ada 1.771 kasus. Kasus terbanyak, 642 kasus, terjadi di sektor perkebunan.
Rincian konflik agraria terkait perkebunan: tahun 2015 ada 127 kasus, tahun 2016 ada 162, tahun 2017 ada 208, dan 114 kasus terjadi pada 2018.
"Dalam catatan kami, konflik sektor perkebunan melibatkan perusahaan negara dan swasta," ucap Dewi.
Baca juga: Komnas HAM: RUU Pertanahan Dinilai Tidak Cerminkan Keadilan Agraria
Diakui Dewi, sangat jarang masyarakat menang di pengadilan terkait konflik agraria.
"Jarang sekali, mungkin hanya 5 persen yang menang. Contoh kasus di Muara Teweh masyarakat menang di pengadilan, tapi kalah saat banding di Mahkamah Agung. Jadi tak ada jaminan bisa mengembalikan tanah adat lewat proses ini," jelasnya.
Adapun pembahasan RUU Pertanahan memasuki tahap final. RUU yang menjadi inisiatif DPR dan telah dibahas sejak 2012 ini akan disahkan akhir September.