Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kritik Terhadap Pasal Karet dalam RKUHP dan Potensi Ancaman Bagi Korban Perkosaan

Kompas.com - 30/08/2019, 09:50 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) meminta DPR tidak buru-buru dalam mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Rapat Paripurna 24 September 2019 mendatang.

Pasalnya, ICJR masih menemukan beberapa substansi pasal yang dianggap bermasalah, mulai pasal yang bersifat karet atau multitafsir hingga protensi mengkriminalisasi korban perkosaan.

Ada pula pasal perzinaan yang justru dipandang sebagai pelanggaran terhadap hal privat warga negara.

Pidana Terhadap Agama

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu meminta ketentuan pasal tindak pidana terhadap agama dalam RKUHP dihapuskan.

Baca juga: Dianggap Pasal Karet, Pasal soal Penodaan Agama dalam RKUHP Diminta Dihapus

Menurut Erasmus, ketentuan penghinaan terhadap agama dalam draf RKUHP saat ini bersifat multitafsir.

"Pasal itu bersifat karet makanya kita minta dihapus," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).

Pasal 304 draf RKUHP menyatakan, setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

Baca juga: RKUHP Dinilai Definisikan Makar Jadi Pasal Karet

Erasmus mengatakan, jika pasal tersebut tetap dicantumkan dalam maka sejumlah frasa harus diperjelas agar tidak menjadi multitafsir.

Misalnya terkait frasa "perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama" dan "di muka umum".

Hal ini, kata erasmus, mengacu pada ketentuan tindak pidana penodaan agama dalam Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Baca juga: Ini Alasan Pasal Perzinaan dalam RKUHP Perlu Dihapus

Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).KOMPAS.com/IHSANUDDIN Aktivis ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Bahkan menurut Erasmus, substansi tindak pidana dalam PNPS diatur secara lebih jelas ketimbang dalam draf RKUHP.

"Rekomendasi kedua, kita minta itu dikembalikan ke (KUHP) yang lama tapi dengan syaratnya pasal itu diperjelas. Penjelasannya diambil dari UU PNPS 1965. Aturan di PNPS itu kan sebenarnya ketat ya," kata Erasmus.

"Harus diperjelas unsurnya. Jadi yang dimaksud permusuhan itu apa, yang dimaksud sengaja di depan umum itu seperti apa. Lalu yang dimaksud dengan menghina itu apa," tutur dia.

Pasal Perzinaan

Ketentuan lain dalam RKUHP yang dianggap bermasalah adalah pasal perzinaan.

Erasmus berpandangan pasal tersebut menunjukkan bahwa negara terlalu jauh mencampuri ranah privat warga negara.

"Kita mintanya pasal itu dihapus karena ya isunya privat, dampak bawaannya itu luas sekali," ujar Erasmus.

Baca juga: ICJR: Pasal Perzinaan dalam RKUHP Perlu Dihapus

Dalam pasal 417 draf RKUHP, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II.

Kemudian pasa pasal 419, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Kedua tindak pidana tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anak.

Baca juga: Pasal Aborsi dalam RKUHP Dinilai Berpotensi Ancam Korban Perkosaan

Dampak lainnya menurut Erasmus, pasal tersebut berpotensi menimbulkan praktik main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Meski merupakan delik aduan, namun tidak dapat dipastikan masyarakat mengetahui bahwa perzinaan hanya dapat diadukan oleh suami, istri, orang tua atau anak.

"Nanti bisa terjadi main hakim sendiri. Masyarakat kan bisa jadi tidak tahu kalau itu delik aduan. Tahunya kan perzinaan tidak boleh, nanti bisa jadi malah main hakim sendiri," kata Erasmus.

Baca juga: 5 Masalah RKUHP, dari Penerapan Hukuman Mati hingga Warisan Kolonial

Selain itu, Erasmus juga menyoroti ketentuan pengaduan yang bisa dilakukan oleh orang tua. Ia menilai hal itu justru dapat meningkatkan angka perkawinan anak.

Berdasakan catatan ICJR, 89 persen perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.

"Yang bisa mengadu jangan termasuk orang tua karena bisa menimbulkan perkawinan usia anak. Jadi yang mengadukan itu suami, istri atau anak saja," ucap Erasmus.

Potensi Ancaman Bagi Korban Perkosaan

Pasal aborsi dalam RKUHP juga memiliki persoalan yang tidak kalah penting.

Pasal itu dianggap berbahaya karena bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan berpotensi mengkriminalisasikan korban perkosaan.

Baca juga: Pasal Living Law Dalam RKUHP Dinilai Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif

Aborsi.Shutterstock Aborsi.

Pasal Pasal 470 ayat (1) mengatur, setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Namun, RKUHP tidak mengecualikan bila aborsi dilakukan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan.

"Logikanya aparat penegak hukum selalu korban perkosaan itu kalau sudah ada dulu statusnya, sudah ada dulu pidananya baru dia dapat dikatakan korban," ucap Erasmus.

Baca juga: DPR Jadwalkan Pengesahan RKUHP pada 24 September 2019

"Sedangkan kasus-kasus yang kita temukan di lapangan itu korban malah jadi pelaku aborsi padahal dia korban perkosaan," kata dia.

Di sisi lain, pasal aborsi dalam RKUHP bertentengan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam Pasal 75 UU Kesehatan, larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan kedaruratan medis dan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

"Pasal aborsi bertentangan dengan pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005," kata Erasmus.

"Kasus BL di Jakarta dan WA di Jambi di mana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi," tutur dia.

Kompas TV Polres Blitar, Jawa Timur, menggerebek klinik aborsi berkedok kedai kopi TOP. Polisi menangkap bidan berinisial N dan pasien yang hendak menggugurkan kandungannya. Penggerebekan praktik aborsi ini berawal informasi masyarakat yang menyebutkan bahwa di rumah bidan N diduga menyediakan jasa aborsi. Di hadapan tim Polres Blitar, pelaku mengakui telah beberapa kali melakukan praktik aborsi dan mematok tarif hingga Rp 5 juta. Warga sekitar menyebutkan bahwa bidan cenderung tertutup dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Akibat praktik aborsi, bidan N ditetapkan sebagai tersangka. Hingga kini, tim Polres Blitar terus melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai praktik aborsi ini. #KlinikAborsi #PolresBlitar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com