JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur menuai polemik dari sejumlah kalangan.
Meski rencana itu mendapat banyak apresiasi dan dukungan di DPR, namun ada pula yang melontarkan kritik.
Beberapa aspek yang dikritik antara lain menyangkut regulasi, anggaran hingga dugaan adanya "deal" politik antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Regulasi
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, pemindahan ibu kota negara baru bisa dilakukan apabila undang-undang (UU) tentang pemindahan ibu disahkan.
Ia menegaskan, apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan sebelum disahkannya UU, maka pembangunan itu adalah ilegal.
"Selama UU belum disahkan tentang pemindahan ibu kota maka pembangunan apapun di situ ilegal," kata Yandri saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
"Dana yang disampaikan atau digunakan untuk membangun itu ilegal, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara UU," sambungnya.
Baca juga: Menteri ATR Bantah Ada Lahan Prabowo Dipakai untuk Ibu Kota Baru
Yandri mengatakan, proses pemindahan ibu kota tidak boleh prematur. Ia mengatakan, pemerintah harus mengajukan regulasi dan naskah akademik yang berisi tinjauan teknis, filosofis, sosial politik dan anggaran.
Tak hanya itu, menurut Yandri, ada banyak UU yang harus direvisi total sebelum pemerintah memulai pembangunan di Kalimantan Timur.
"Maka semua menyangkut UU yang akan diubah itu harus direvisi atau diubah total. Bahkan misalkan, masalah UU ASN, UU masalah DKI Jakarta, mengenai posisi aset negara yang ada di Jakarta. Jadi banyak sekali," ujarnya.
Baca juga: Bagaimana Industri Pariwisata Jika Ibu Kota Pindah ke Kaltim?
Berdasarkan hal itu, kata Yandri, PAN menilai belum saatnya dilakukan pemindahan ibu kota.
Ia meyakini seluruh fraksi di DPR akan mencermati kajian pemindahan ibu kota negara tersebut.
"Tapi kami yakin fraksi-fraksi yang lain itu tentu akan sangat teliti cara berpikirnya demi bangsa dan negara. Kita akan diskusi secara organitatif, secara bagus, belum tentu juga semua fraksi akan setuju," katanya.
Anggaran
Secara terpisah, Ketua Fraksi Partai Gerindra Edhy Prabowo menegaskan pihaknya tidak setuju dengan rencana pemerintah melibatkan pihak swasta terkait skema pendanaan pembangunan ibu kota baru Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur.
Baca juga: Ini Profil Pembeli Apartemen di Ibu Kota Negara Kalimantan Timur
Menurut Edhy seluruh pembiayaan pembangunan ibu kota di Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kalau Gerindra maunya 100 persen uang negara bahwa ada faktor pendukung lainnya yang mengikuti itu faktor sekunder yang paling utama adalah kebutuhan dasarnya," ujar Edhy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Presiden Joko Widodo mengatakan, total kebutuhan untuk membangun ibu kota baru kurang lebih Rp 466 triliun.
Baca juga: Selain Ide Besar, Pemerintah Perlu Mendesain Support System Ibu Kota Baru
Nantinya, 19 persen dari kebutuhan pendanaan itu akan berasal dari APBN.
Sisanya, berasal dari Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU dan investasi langsung swasta dan BUMN.
Menurut Edhy, sebaiknya pihak swasta tidak ikut campur tangan terkait pembiayaan pembangunan ibu kota negara.
"Ini kan kedaulatan negara masa kita mau serahkan ada swasta membangun negeri kita. Ini alasan yang kami dapat arahan dari ketua umum kami," kata Edhy.
Dugaan Kompensasi Politik
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menduga ada kompensasi politik bagi Prabowo Subianto pasca-Pilpres 2019 di balik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Baca juga: Warga: Jakarta Sudah Kepenuhan, Saatnya Pindah Ibu Kota
Seperti diketahui, pemerintah menetapkan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia.
Dinamisator JATAM Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, sebagian besar lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya di Kecamatan Sepaku, dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama.
Kedua perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) itu disebut milik Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris utama.
Baca juga: Aktivis Sebut Ada Deal Politik Jokowi dan Prabowo Soal Ibu Kota Baru
"Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek pasca-pilpres,” ujar Rupang saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/8/2019).
“Di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama di Kecamatan Sepaku rencana ini (pemindahan ibu kota) akan menguntungkan Hashim Djojohadikusumo karena lahan di sana dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama," ucapnya.
Menurut Rupang, PT ITCI Kartika Utama mengantongi SK Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHHK) dengan nomor SK.160/Menhut-II/2012.
Baca juga: Apartemen di Ibu Kota Negara Itu Bernama Borneo Bay City
Dalam dokumen itu Rupang menyebut PT ITCI Kartika Utama menguasai izin usaha pemanfaatan hutan seluas 173.395 hektar lahan di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.
Dengan demikian, pemerintah harus memberikan kompensasi terhadap perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan jika ingin mengambilalih lahan yang dikuasai untuk membangun ibu kota.
Selain itu, Rupang juga menduga pemindahan ibu kota hanya akan menguntungkan pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur.
Baca juga: Menerka Bentuk Pemerintahan di Ibu Kota Baru
Menurut data JATAM, terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara.
"Pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur," kata Rupang.
"Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan," ujar dia.
Baca juga: Diakui, Ada Lahan Milik Prabowo di Wilayah Ibu Kota Baru
Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo membantah ketua umumnya, Prabowo Subianto, mendapat kompensasi politik dari rencana pemindahan ibu kota.
Bahkan Edhy menegaskan bahwa Prabowo akan memberikan lahan yang dikuasai jika diminta oleh pemerintah.
"Saya rasa enggak. Pak Presiden punya pemikiran lebih besar dari itu. Tapi sekalipun tidak ada apa-apanya bagi kami, demi bangsa dan negara kalau diminta lahan kami pun Pak Prabowo pasti mau," ujar Edhy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).