Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komisi VIII: Kalau untuk Efek Jera, Nggak Mungkin Hanya dengan Kebiri

Kompas.com - 27/08/2019, 13:20 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

Kompas TV Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto menorehkan sejarah dalam penegakan hukum tanah air. Untuk pertama kalinya hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual dijatuhkan kepada Muhammad Aris. Aris ditangkap Kepolisian Mojokerto Jawa Timur pada Oktober 2018 lalu karena menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap sembilan orang anak di bawah umur sejak tahun 2015. Hukuman kebiri kimia yang ditambahkan majelis hakim selain putusan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan pada terpidana Aris sudah inkrah. Pasalnya putusan ini justru dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Timur setelah terpidana mengajukan banding. Hukuman kebiri kimiawi ini diakomodasi setelah Mei 2016 silam Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kebiri kimiawi dilakukan dengan memasukkan zat anti androgen atau hormon testosteron untuk menekan dorongan seksual. Efeknya bisa mengalami kemandulan tetapi bersifat sementara. Hukuman sudah dijatuhkan pengadilan tetapi Ikatan Dokter Indonesia keberatan jika dokter menjadi eksekutor hukuman ini. Pasalnya kebiri kimiawi bisa menimbulkan banyak efek samping terhadap tubuh dan secara etika itu bertentangan dengan sumpah profesi dokter. Peraturan tata laksana dan petunjuk teknis hukuman kebiri kimiawi ini juga masih disusun. Namun menyikapi keberatan Ikatan Dokter Indonesia Kejaksaan Negeri Mojokerto akan berkoordinasi dengan IDI dan ikatan tenaga medis lain untuk mencari siapa yang paling tepat menjadi eksekutor hukuman ini. Meski diapresiasi banyak pihak hukuman kebiri kimiawi juga dipandang tidak bisa serta merta menjadi solusi untuk menekan predator anak. Pasalnya kebiri kimiawi tidak dilakukan secara sukarela oleh terpidana melainkan sebagai hukuman hingga belum tentu menjadi efek jera. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kini tengah menyusun petunjuk teknis eksekusi kebiri kimiawi terhadap terpidana pemerkosa 9 anak Muhammad Aris termasuk mencari rumah sakit yang mampu menjalani prosedur medisnya. #KebiriKimiawi #PredatorAnak #MuhammadAris

Kendati demikian, penerapan hukuman kebiri kimia menimbulkan kontra di kalangan organisasi masyarakat sipil.

Baca juga: Kebiri Dianggap Langgar HAM, Kejagung: Lihatlah dari Sisi Korban

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai bahwa penambahan ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual menjadi indikasi lemahnya pemerintah menekan angka kejahatan.

Koordinator Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan, pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif tidak cukup dengan menambah ancaman pidana.

Rizky mengatakan, kebijakan menambah ancaman pidana selalu jadi kebijakan populis di berbagai negara.

Akan tetapi, tidak menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan terjadinya suatu tindak pidana.

Efek jera yang selalu didengung-dengungkan sebagai alasan memperberat pidana dianggap tak didasarkan pada data yang jelas, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com