JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat energi dari Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara, mengkritik Presiden Joko Widodo yang sempat emosional saat mendengar penjelasan pejabat PT Perusahaan Listrik Negara setelah listrik mati di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Presiden Jokowi bertandang ke kantor pusat PLN sehari setelah kejadian, Senin (5/8/2019).
“Tidak sepantasnya Pak Jokowi marah-marah. Kalau dia sadar, dia juga ikut berkontribusi terhadap masalah kemarin. Cuma kalau dia enggak tahu dia salah, ini repot,” kata Marwan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/8/2019) malam.
Andil pemerintah, kata Marwan, dalam hal kebijakan pemerintah terhadap PLN.
Marwan menyebutkan, kebijakan itu antara lain larangan menaikkan tarif listrik dan kewajiban membeli listrik swasta dengan sistem take or pay.
Baca juga: Pemadaman Listrik Bikin Rugi, Rizal Ramli Sebut Jokowi Pantas Marah
Larangan menaikkan tarif listrik di tengah inflasi dan menguatnya dollar AS, menurut Marwan, menjadi beban berat tersendiri bagi PLN untuk tetap bisa bekerja sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan.
Hal itu karena tidak ada kucuran dana yang signifikan dari pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk PLN sehingga dapat melaksanakan semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
“Oke (listrik) tidak naik, tapi ada enggak anggaran di APBN untuk membantu PLN menanggung beban supaya listrik itu tidak naik. Padahal di sisi lain dollar naik, batubara naik, gas naik, BBM naik, lalu prinsipnya ada inflasi, itu kan mau enggak mau (listrik) harus naik, tapi dipaksa tidak naik,” ujar dia.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang mewajibkan PLN membeli listrik dari pihak swasta dengan skema take or pay dinilai Marwan untuk tujuan besar antara pemerintah dan para pengusaha di luar kepentingan PLN.
Baca juga: Kronologi Blackout: Dari Mati Lampu, Jokowi Marah, hingga Janji PLN
Kebijakan ini mengharuskan PLN membeli listrik dalam jumlah yang melebihi kebutuhannya.
Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, hal ini dianggapnya menjadi beban tambahan dalam keuangan PLN.
“Jadi ada kelebihan daya listrik yang harus ditanggung sendiri. Ini jadi beban operasional PLN. Kenapa ini harus diterima, ya karena bisa saja ada oligarki antara penguasa dan pengusaha yang tidak bisa dilawan PLN,” kata Marwan.
Semua tuntutan yang tidak disesuaikan dengan anggaran signifikan ini, menurut Marwan, akan memengaruhi keandalan PLN dalam menjalankan tugasnya sesuai SOP.
Ada hal-hal yang harus dinegosiasikan hingga PLN tetap dapat beroperasi dan memenuhi permintaan penguasa.
"Pemerintah juga memiliki peran besar terhadap kekacauan yang terjadi dalam kegiatan operasional PLN. Tidak sesederhana kita harus nge-blame PLN. Saya ingin kita semua belajar dan menyadari jangan sekadar meminta BUMN begini dan begitu,” ujar Marwan.
Demikian pula dengan pemotongan gaji karyawan PLN sebagai bentuk pertanggungjawaban kerugian blackout.
Menurut dia, pemerintah juga wajib turun tangan mengucurkan dana untuk ini.
Baca juga: Menurut Istana, Ini yang Buat Jokowi Marah kepada Dirut PLN
“Iya, kalau mau menanggung beban kompensasi yang katanya hampir Rp 1 triliun itu pemerintah mestinya juga ikut dong mempertanggungjawabkan karena kebijakan mereka kan bermasalah,” kata dia.
Sebelumnya, Presiden didampingi sejumlah menteri kabinet mendatangi kantor PLN, Senin (5/8/2019), untuk meminta penjelasan atas padamnya listrik secara serentak di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, karena kerusakan di transmisi Ungaran dan Pemalang.
Merasa penjelasan yang diberikan Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani terlalu panjang, Jokowi pun terlihat marah dan meminta PLN segera mengatasi masalah dalam waktu secepat mungkin.
Ia pun meninggalkan tempat pertemuan tanpa menggubris pertanyaan wartawan, tidak seperti kebiasaannya saat selesai melakukan kunjungan.