Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aji Chen Bromokusumo
Budayawan

Anggota DPRD Kota Tangerang Selatan Fraksi PSI dan Anggota Komisi IV DPRD Kota Tangerang Selatan

Dinamika 2019 Menuju 2022 dan 2024

Kompas.com - 30/07/2019, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIRNYA usai sudah hajatan akbar lima tahunan, yaitu untuk kali pertama pemilu legislatif dan presiden digelar serentak tahun 2019 ini.

Tidak mudah menjaga kewarasan politik di tengah gempuran badai isu identitas sentimen etnis dan agama sejak 2014 yang sebenarnya sudah timbul bibitnya di 2012.

Masih segar dalam ingatan untuk pertama kalinya Joko Widodo dan Prabowo Subianto "berlaga" dalam Pilpres 2014 yang melahirkan keterbelahan yang dikenal dengan sebutan "cebong" dan "kampret".

Itu disambung dengan Pilkaa DKI Jakarta 2017 yang mengerucutkan politik identitas, terutama mengedepankan sentimen etnis dan agama.

Yang baru berlalu, masih terasa bilur-bilur babak belur pertempuran hebat kubu 01 dan 02. Dengan ditolaknya seluruh dalil gugatan Prabowo Subianto–Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi, berarti legitimasi terpilihnya Joko Widodo–Kiai Ma'ruf Amin adalah final.

Di titik inilah mulai nampak para "penumpang gelap" yang sebenarnya terang benderang menampakkan jati dirinya. Di seluruh linimasa media sosial, caci maki dan sumpah serapah berhamburan dari kelompok ini ditujukan kepada Prabowo Subianto, di mana sebelumnya secara terstruktur sistematis dan masif ditujukan kepada Jokowi.

Mencapai puncaknya adalah ketika kedua kontestan Pilpres 2019 ini pada 13 Juli 2019 bertemu di Stasiun MRT, disambung duduk bareng dalam MRT dan makan siang bersama di salah satu mal di Jakarta.

Diplomasi mulut dan perut ternyata tidak berhenti di situ. Pada 24 Juli 2019, Prabowo Subianto menyambangi kediaman Megawati Soekarnoputri memenuhi undangan "diplomasi nasi goreng". Entah apa yang dibicarakan di situ, hanya orang-orang yang sangat terbatas hadir di situ.

Di hari yang sama, Anies Baswedan bertemu Surya Paloh di DPP Nasdem. Dua hari sebelumnya, 22 Juli 2019, Nasdem, PKB, Golkar, dan PPP juga mengadakan pertemuan. Disusul dengan pertemuan Prabowo dan Rachmawati pada 27 Juli 2019 di kediaman Rachmawati untuk "diplomasi nasi liwet".

Pertemuan-pertemuan intensif tingkat tinggi ini selain meredakan dan semoga menghapus sekat perseteruan antara kubu 01 dan 02, justru juga membuka lebar-lebar kedok para penumpang gelap yang memanfaatkan kubu 02 untuk memuluskan tujuan mereka yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah.

Serempak dan kompak kelompok ini mendeklarasikan diri dengan narasi-narasi senada bahwa Prabowo "pengkhianat", bahwa mereka akan terus berjuang, bahwa mereka tetap menolak "presiden hasil kecurangan".

Tidak ketinggalan Amien Rais dengan percaya diri meminta komposisi 55:45 untuk masuk ke dalam koalisi pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, entah yang dimaksud 55 persen itu kubu yang mana, kubu pemenang atau saking percaya diri dan menilai diri sendiri tinggi kubunya sendiri.

Tak lain pertemuan-pertemuan ini tentu saja untuk membahas peta alokasi orang-orang dalam pemerintahan 2019-2024. Akankah Gerindra menduduki posisi penting dan strategis di dalam kabinet baru 2019 ini?

Posisi-posisi kunci seperti Ketua MPR dan beberapa kementerian tampaknya menjadi incaran Gerindra. Ini becermin dari pengalaman PAN sebelumnya yang tadinya berseberangan di 2014, kemudian merapat dan mendapatkan jabatan Ketua MPR.

Bagaimana posisi para partai koalisi pendukung Jokowi sejak awal? Menurut kabar, partai-partai koalisi pendukung Jokowi keberatan jika oposisi masuk dalam kabinet kali ini.

Tak kalah heboh adalah sinyal bahwa Anies Baswedan akan maju dalam Pilpres 2024. Gelagat ke situ sebenarnya sangat samar sudah dapat dirasakan sejak pidato pada hari pelantikannya tentang pribumi dan non-pribumi dan kemudian pelahan tapi pasti sentimen etnis tertentu terus dibangun.

Yang baru lewat adalah ketika Anies dihajar isu pembongkaran instalasi bambu Getih Getah di Bundaran Hotel Indonesia, dengan enteng dia mengatakan, jika menggunakan besi nanti uangnya akan lari ke Tiongkok karena besinya impor dari sana.

Secara sederhana, jumlah besi yang dibutuhkan untuk instalasi semacam itu, sepertinya berlebihan jika dikatakan harus impor. Anies Baswedan tidak akan melewatkan setiap detik masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk mulai dan terus membangun dukungan untuk melaju di 2024.

Mengutip tulisan saya di sini dua tahun lalu, Perlawanan Koruptor dan Oligarki Berbungkus Agama dan Sentimen Etnis, saya mencoba memisahkan sejernih mungkin urusan hiruk pikuk politik semenjak 2012 sampai sekarang ini dan saya yakin akan menghebat di Pilpres 2019 dengan level yang mungkin terdahsyat dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Terlebih lagi saya tidak mengkritik agama apa pun karena saya meyakini ajaran agama apapun adalah kebaikan. Namun, seringkali agama digunakan, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan politik.

Di seluruh penjuru dunia terbukti agama merupakan bungkus paling manjur dan mujarab untuk mengobarkan fanatisme membabibuta. Timur Tengah, Irlandia, Afrika, bahkan di Amerika--agama (dan biasanya bersinergi dengan etnis) masih merupakan senjata paling ampuh.

Para anasir politik identitas sentimen etnis dan agama ini tahu persis bagaimana memainkan isu ini terus menerus serta memanfaatkan momentum Pileg dan Pilpres 2019 ini untuk terus bertahan di semua lini, baik pemerintah ataupun swasta.

Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Pemerintah ternyata justru menaikkan perolehan suara PKS secara signifikan yang menerima limpahan dari HTI. Dua partai, yaitu PKS dan PAN, yang diperkirakan tidak lolos ke Senayan kali ini di 2019 justru memperoleh kenaikan suara cukup signifikan dibanding tahun 2014.

Semenjak pertemuan Jokowi-Prabowo dan disusul dengan pertemuan-pertemuan lainnya, para anasir politik identitas sentimen etnis dan agama tersebut mulai ancang-ancang mencari tempat berlabuh yang lain setelah Gerindra sebagai juara 3, bisa dibilang "rujuk" dengan PDIP, partai pemenang Pemilu 2019 ini.

Pilkada DKI Jakarta 2022

Sewaktu menuliskan ini, rasanya seperti déjà vu di tahun-tahun 2011-2012 ketika Gerindra dan PDI-P berkoalisi mengusung seorang tukang kayu yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo dan seorang etnis Tionghoa menjadi pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta.

Banyak orang menilai pasangan calon ini adalah pasangan aneh dan tidak akan menang melawan petahana ketika itu menghadapi pasangan calon lain yang dianggap lebih berakar di DKI Jakarta.

Sejarah mencatat pasangan Jokowi-Ahok menang gilang gemilang di DKI Jakarta tahun 2012. Danm dua tahun kemudian Jokowi maju sebagai capres dan menang.

Akankah sejarah berulang? Fauzi Bowo hanya menjabat satu periode setelah menang pada tahun 2007 berpasangan dengan Prijanto. Siapa nantinya yang akan berlaga di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2022?

Bisa dibilang laga di Ibu Kota tahun 2022 nanti akan menjadi "pemanasan" untuk maju dalam laga skala nasional yaitu presiden di 2024.

Nama-nama mulai sayup-sayup berseliweran. Dari nama-nama yang berseliweran belum ada calon kuat yang cukup greget melawan petahana Anies Baswedan.

Akankah fenomena "satria piningit" seperti Jokowi akan terulang, dari yang sebelumnya tidak masuk radar bursa calon gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba mencuat dan meroket dengan cepat?

Pilkada serentak 2020

Yang mungkin terlewatkan dari perhatian publik adalah tahun depan, tahun 2020 akan ada pilkada serentak di 270 daerah seluruh Indonesia.

Terbetik berita bahwa Gerindra membuka peluang berkoalisi dengan PDI-P untuk maju dalam Pilkada Sumatera Barat 2020. Kedua partai besar ini sangat menyadari bahwa Sumatera Barat adalah lumbung suara signifikan untuk pilpres.

Kemudian, yang paling menarik dicermati adalah Pilkada Surakarta. Sudah ada dua partai politik yang bersiap mengusung Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, maju menjadi calon wali kota Solo tahun depan. Dua partai politik itu adalah Demokrat dan PKS.

Cukup mengagetkan melihat manuver PKS, partai yang selama ini cukup bertentangan dengan pemerintah, serta merta berancang-ancang mengusung Gibran. Jelas tapi tak terpaparkan melalui kata-kata maksud dan tujuan PKS.

Kalau Demokrat memang jelas harus berpikir strategis untuk lima tahun ke depan termasuk di sela-sela perhelatan politik dalam lima tahun ke depan ini, berbagai pilkada di berbagai daerah.

Akankah Gibran maju sebagai calon wali kota Solo untuk Pilkada 2020? Jika ya dan jika menang, akankah mengulangi menyusuri rute yang sama dengan Jokowi untuk kemudian maju 2022 di DKI dan 2024 di nasional?

Saat ini memang sangat terlalu dini untuk menebak. Tetapi yang jelas, seluruh partai politik akan menapaki "rute" yang sama, yaitu Pilkada 2020, Pilkada DKI Jakarta 2022, dan Pilpres 2024.

Visi Indonesia dan radikalisme

Dalam pidato Jokowi di Sentul pada 14 Juli 2019, berulang kali ditekankan bahwa dalam periode kedua ini, Jokowi tidak memiliki beban politik dan akan secara maksimal dengan segala daya upaya untuk Indonesia. Pidato ini dirangkum dalam Visi Indonesia.

Salah satu poin utama Visi Indonesia adalah membangun sumber daya manusia dan menuntaskan revolusi mental yang merupakan janji politik Jokowi sejak 2014.

Yang tidak kalah penting adalah bangkitnya semangat nasionalisme dan perlawanan nasional terhadap maraknya paham-paham yang ingin mengganti Pancasila yang semakin mengkhawatirkan merasuk ke seluruh lini masyarakat.

Menyebut dua contoh terbaru adalah wacana (atau sudah?) akan digantikannya rok menjadi celana panjang untuk pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) dalam perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus di Istana Negara dan satu lagi heboh-heboh diblokirnya kanal Kimi Hime yang dinilai terlalu vulgar.

Dimulai dengan hal-hal seperti ini, kemudian akan meluas ke hal-hal lain yang biasanya akan dikaitkan dengan ajaran agama.

Perlawanan secara budaya muncul diawali dengan Selasa Berkebaya yang ingin mengembalikan identitas busana nasional serta perlawanan masyarakat ratusan ribu penandatangan petisi pembubaran Front Pembela Islam (FPI).

Ditambah beberapa hari belakangan semakin santer kemungkinan pembubaran FPI oleh pemerintah jika dinilai tidak sejalan dengan haluan negara.

Jika memang FPI jadi dibubarkan, bisa jadi Pilkada DKI Jakarta 2022 akan jauh berkurang panasnya sentimen etnis dan agama seperti 2017 kemarin.

God bless Indonesia, bukan indonestan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com