JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto mendesak Presiden Joko Widodo segera dan secara proaktif memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun.
Amnesti ini dinilai mendesak setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Nuril yang sebenarnya merupakan korban pelecehan seksual.
"Sekaranglah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi negara untuk menghadirkan keadilan bagi seorang warganya, dengan memberikan amnesti. Langkah ini tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya," kata Damar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).
Damar juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai perlunya amnesti sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Baca juga: PBNU Berharap Tidak Ada Lagi Peristiwa Hukum seperti Baiq Nuril
Menurur Damar, Presiden disertai pertimbangan DPR RI dapat proaktif memberikan Amnesti jika melihat terjadi ketidakadilan terhadap seorang warga negara.
"Hal ini penting untuk dilakukan oleh Presiden sebagai upaya untuk memberikan dukungan kepada korban-koran pelecehan seksual lain di Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi yang tidak seharusnya mereka alami," kata Damar.
Damar menilai, perspektif hukum majelis hakim sidang PK tidak lengkap dalam menimbang keadilan bagi Nuril.
Putusan itu justru menyalahkan korban pelecehan seksual yang berusaha mengungkapkan kejahatan yang terjadi terhadapnya.
Penolakan PK itu membuktikan sulitnya korban pelecehan seksual mencari keadilan.
"Korban bukan saja direndahkan, tetapi dengan mudah dianggap sebagai sumber atau pelaku kejahatan. Ke depan, penolakan PK ini dapat membuat korban lainnya dari pelecehan seksual atau kekerasan seksual akan semakin takut bersuara," kata dia.
Selain mendesak agar amnesti diberikan ke Nuril, Damar mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE, termasuk Pasal 27-29 UU ITE.
Sebab, pasal-pasal itu telah banyak digunakan untuk melawan ekspresi yang sah dalam standar hak asasi manusia internasional dan keberadaannya akan menggerus kebebasan berekspresi di Indonesia.
Baca juga: Bela Baiq Nuril, Fahri Hamzah Sebut Pemerintah Sebaiknya Cabut UU ITE
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepsek M pada 2012.
Dalam perbincangan itu, Kepsek M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.