Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Menjawab Pertanyaan tentang Kenetralan Mahkamah Konstitusi...

Kompas.com - 12/06/2019, 16:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Björn Dressel

LAGI-LAGI badai politik menerjang Mahkamah Konstitusi (MK). Prabowo Subianto, yang untuk kedua kalinya kalah dalam pemilihan presiden (pilpres), kembali menggugat kemenangan Joko "Jokowi" Widodo ke MK.

Prabowo menuduh Jokowi curang dan menuntut MK agar mendiskualifikasi sang petahana dan menjadikan dirinya sebagai pemenang pilpres. Gugatan serupa pernah dilayangkan Prabowo pada Pilpres 2014 ketika dirinya juga kalah dari Jokowi.

Oleh karena itu, sekali lagi, MK diminta bertindak sebagai wasit yang independen dalam kontestasi politik Indonesia.

Hal ini tidak semata-mata hanya untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia mengingat legitimasi proses pemungutan suara yang jadi taruhannya.

Sejumlah orang ragu akan kenetralan MK. Sejak penangkapan para hakim MK, termasuk mantan Ketua MK, Akil Mochtar, atas kasus penyuapan pada 2013, publik menjadi meragukan kualitas lembaga tersebut.

Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga meragukannya.

Namun, penelitian terbaru saya bersama Tomoo Inoue dari Seikei University di Jepang mungkin dapat melepas kekhawatiran tim Prabowo karena temuan kami menunjukkan bahwa MK bisa tetap independen.

Berdasarkan analisis empiris terhadap kinerja MK antara tahun 2004 dan 2016, kami tidak menemukan adanya bukti yang dapat memengaruhi keputusan MK untuk selalu mendukung pemerintah dalam kasus-kasus penting.

Penelitian kami

Untuk penelitian ini, kami mengumpulkan data yang mencakup kasus-kasus penting antara 2004 dan 2016. Pentingnya kasus ini diukur dari banyaknya jumlah pemberitaan kasus-kasus tersebut di dua surat kabar utama dan pembahasan pada publikasi dan diskusi akademik. Hasilnya, kami menemukan 80 kasus.

Selain itu, kami melengkapi analisis 80 kasus tersebut dengan menganalisis profil 26 hakim yang bertugas di MK sejak MK pertama kali berdiri tahun 2003.

Kami menemukan adanya peningkatan kasus-kasus politik dan kasus penting lain secara bertahap dari waktu ke waktu dengan lonjakan yang signifikan selama pemilihan umum (pemilu).

Dari 80 kasus, 28 persen di antaranya terkait dengan sengketa pemilu; 33 persen tentang hak-hak individu dan kebebasan sipil; 24 persen tentang pemisahan kekuasaan di antara lembaga pemerintahan; 9 persen tentang masalah ekonomi, dan 6 persen terkait dengan kekuasaan presiden.

Meski 41 kasus (51 persen) diputuskan dengan suara bulat, dalam 39 kasus (49 persen) setidaknya ada satu hakim yang menyatakan tidak setuju terhadap putusan yang diambil.

Jumlah beda pendapat antarhakim telah menurun dari tahun ke tahun dan mencapai titik terendah baru di bawah Jokowi. Angka ini menunjukkan berkurangnya perbedaan pendapat di meja hijau.

Menariknya, pemerintah kalah sebanyak 75 persen dari putusan dan hanya memenangi 25 persen dari sampel 80 kasus yang dipilih.

Halaman:


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com