KOMPAS.com — Institut For Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan inisiatif pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan fitur layanan di berbagai media sosial dan aplikasi pesan instan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com pada Jumat (24/5/2019), mereka menyebut kebijakan ini tidak diperlukan. Sebab, kebijakan bertentangan dengan dua hal mendasar terkait hak setiap orang untuk mendapatkan informasi.
Hal pertama yang dilanggar dengan pemberlakuan kebijakan ini adalah hak berkomunkasi dan memperoleh informasi masyarakat yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945, terutama terhadap pembatasan WhatsApp dan Line.
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia," bunyi pasal tersebut.
Baca juga: AJI Desak Pemerintah Cabut Pembatasan Akses Media Sosial
Kedua, kebijakan pembatasan ini juga tidak didahului dengan pemberitahuan kepada masyarakat atau dilakukan secara mendadak.
"Pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat," demikian pernyataan ICJR.
Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 memberi kewenangan terhadap negara untuk membatasi hak asasi manusia hanya ketika terjadi kondisi darurat yang membahayakan.
Dalam keadaan tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.
Terdapat dua kondisi mendasar yang harus dipenuhi sebelum kepala negara memberlakukan batasan-batasan terhadap hak asasi manusia.
Hal-hal itu adalah situasi darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan presiden menetapkan secara resmi negara tengah dalam kondisi darurat.
ICJR merekomendasikan tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, mengkaji kebijakan pembatasan akses media sosial secara mendalam agar tidak merugikan kepentingan yang lebih luas.
Kemudian, presiden menetapkan secara resmi bahwa negara tengah dalam kondisi darurat sebelum memberlakukan pembatasan.
Terakhir, jika tetap dirasa perlu memberlakukan batasan, meskipun tidak dalam kondisi darurat, keputusan itu semestinya disampaikan oleh pejabat hukum tertinggi, yakni Jaksa Agung, bukan orang-orang di pemerintahan.
"Sehingga kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis," demikian ICJR menuliskan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.