Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Komitmen Penyelenggara Negara dalam Pelaporan Harta Kekayaan

Kompas.com - 15/04/2019, 08:46 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan penyelenggara negara di berbagai instansi yang melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada awal April lalu.

Per 8 April 2019, sebanyak 273.784 wajib lapor sudah mengurus laporan harta kekayaannya. Sementara masih ada 76.218 wajib lapor yang belum menyampaikan LHKPN ke KPK.

Jika dibagi dalam tiga sektor, di tingkat eksekutif, sebanyak 214.802 wajib lapor sudah mengurus laporan kekayaannya. Sementara ada 55.169 wajib lapor yang belum menyampaikan laporan kekayaannya.

Baca juga: KPK Ungkap Kepatuhan LHKPN per Fraksi di DPR

Pada sektor yudikatif, ada 16.214 orang yang sudah melaporkan kekayaannya. Di sisi lain, ada 6.881 orang yang belum mengurus LHKPN.

Sementara di sektor legislatif, 12.681 wajib lapor telah menyampaikan laporan harta kekayaan. Di sisi lain ada 5.672 wajib lapor yang belum mengurus LHKPN.

Sebagai komitmen awal antikorupsi

Juru Bicara KPK Febri DiansyahDYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Juru Bicara KPK Febri Diansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah pernah mengingatkan agar seluruh penyelenggara negara bisa menunjukkan komitmen nyatanya dalam pencegahan korupsi. Salah satunya dengan melaporkan harta kekayaannya.

Keberadaan LHKPN juga bermanfaat bagi publik untuk memantau perkembangan harta kekayaan pejabat negara secara berkala.

"Kami berharap komitmen itu bisa lebih rill dan salah satu sarana yang sudah kita sediakan pelaporan LHKPN yang lebih mudah diakses dan lebih mudah dilaporkan (secara elektronik)," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Baca juga: KPK: Per 8 April, Ada 99 DPRD yang Tingkat Kepatuhan LHKPN-nya 100 Persen

Menurut Febri, masih ada pihak lainnya dari berbagai instansi yang masih berupaya mengurus laporan kekayaannya via situs resmi KPK atau mendatangi gedung KPK.

"Mereka yang lapor setelah 31 Maret 2019 akan tercatat pelaporan yang terlambat ya. Pelaporan itu tetap akan masuk ke dalam sistem. Ketika disampaikan ke instansi masing-masing kami akan buat catatan mana penyelenggara negara yang melaporkan tepat waktu dan mana penyelenggara negara yang terlambat," kata dia.

Di sisi lain, KPK berharap ketegasan berbagai pimpinan instansi terhadap wajib lapor yang terlambat atau tak melaporkan kekayaannya ke KPK.

KPK akan mengirimkan data kepatuhan wajib lapor LHKPN ke setiap instansi terkait. KPK memberikan catatan khusus kepada mereka yang terlambat atau tidak melapor harta kekayaannya.

"Kami akan kirimkan datanya ke instansi masing-masing. Jadi kami harap ada ketegasan kalau tidak patuh dengan aturan hukum yang berlaku, karena seluruh penyelenggara negara dan juga pegawai negeri itu punya kewajiban untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan," tegas Febri.


Paradigma lama

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengungkapkan, masih ada paradigma lama yang melekat pada penyelenggara negara dalam mengurus laporan kekayaannya.

"Terlihat sekarang dalam beberapa pemberitaan, KPK seperti meminta kepada penyelenggara negara ayo dong lapor LHKPN kepada kita. Nah ini kan sebenernya paradigma yang salah seharusnya setiap penyelenggara negara yang mana dia bertindak berdasarkan undang-undang dan LHKPN sudah diatur di undang-undang seharusnya itu dijadikan kewajiban hukum," kata Kurnia di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/4/2019).

Menurut dia, penyelenggara negara sudah sepatutnya patuh dan aktif dalam melaporkan harta kekayaannya. Sebab, pelaporan kekayaan merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara ke publik

Kurnia menegaskan, kewajiban pelaporan harta kekayaan merupakan amanat Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain itu, landasan pelaporan LHKPN juga sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016.

Sanksi administrasi yang tegas

Kurnia melihat sanksi yang ada saat ini masih bersifat administratif di berbagai instansi. Ia belum melihat adanya sanksi tegas yang konkret di setiap instansi bagi penyelenggara negara yang tak mengurus LHKPN.

"Ada persoalan penting sebenernya sudah menjadi legal culture di indonesia bahwa setiap orang akan tunduk pada satu peraturan jika peraturan itu mengatur lebih jauh tentang sanksi yang tegas," sambungnya.

Dari sanksi administratif, Kurnia berharap pimpinan berbagai instansi bertindak tegas, seperti menunda setoran gaji, promosi jabatan hingga pemecatan.

"Perlu ada sanksi administrasi yang tegas, misalnya penundaan gaji, penundaan promosi jabatan atau bahkan yang ekstrem bisa dibuat sanksi yang mengatur soal pemecatan bagi penyelenggara negara yang tidak patuh dalam laporan LHKPN setiap tahunnya," kata Kurnia.

Regulasi baru

Ia menilai perlunya pengaturan lebih lanjut soal sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tak bisa mempertanggungjawabkan harta kekayaannya.

Hal itu dinilainya bisa dirancang oleh pemerintah dan DPR.

Menurut Kurnia, diskursus pemidanaan penyelenggara negara yang tidak jujur dalam pelaporan kekayaannya sudah muncul sejak keberadaan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003.

"Itu sebenernya sudah mengatur tentang pemidanaan yang dengan isilah hukum disebut illicit enrichment, ada peningkatan harta kekayaan tidak wajar, maka harus bisa dibuktikan oleh penyelenggara negara. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harta itu bisa dirampas oleh negara," kata Kurnia.

Misalnya, apabila ada peningkatan jumlah kekayaan yang signifikan dan mencurigakan, maka penegak hukum bisa menyeret orang itu ke meja hijau.

"Untuk membuktikan apakah peningkatan harta kekayaan itu diperoleh secara sah atau tidak. Ini menjadi perdebatan panjang terkait tidak adanya sanksi tegas yang diatur negara," kata dia.

Namun ia memandang ada kesulitan tersendiri agar aturan ini bisa dibentuk. Ia menilai masih cukup banyak pejabat di tingkat eksekutif dan legislatif yang tidak taat dalam pelaporan LHKPN.

"Ya, jadi akan sulit sebenernya, kendalanya saat ini adalah pembentukan undang-undang itu ada di ranah eksekutif dan legislatif. Dua lembaga itu kerap kali abai, ada yang belum melaporkan LHKPN," ujarnya.

Hal ini yang dinilainya membangun pesimisme tersendiri aturan baru itu bisa diciptakan. Padahal, aturan ini sudah diterapkan di sejumlah negara dan bisa menimbulkan efek jera. Salah satunya diterapkan oleh Australia.

"Di beberapa negara sudah mengatur misalnya di Australia, ini sudah mengatur soal illicit enrichment yang beneran mempunyai efek jera terhadap penyelenggara negara yang abai maupun yang bohong ketika melampirkan LHKPN," kata dia.

"Jadi kita tidak terlalu berharap banyak (di Indonesia) karena pihak yang mengatur regulasi itu pihak yang abai juga melaporkan LHKPN. Bagaimana kita bisa optimis mereka mengatur lebih jauh sanksi yang tegas?" sambung dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com