"Dari sini kemudian dipakai untuk membuat salinan yang akan disampaikan kepada masing-masing saksi kepada panwas TPS," ujar Hasyim.
Hasil catatan formulir tersebutlah yang kemudian akan dipindai (scan) oleh KPU kabupaten/kota untuk kemudian diunggah ke website KPU. Artinya, informasi yang diunggah di website KPU itu sudah diketahui di TPS-TPS.
Baca juga: KPU Tegaskan Tak Punya Server di Luar Negeri
"Kalau model setting-an kan dia udah setting dulu baru di lapangan (hasil suara) berapa, tidak begitu logika prosesnya. Logika prosesnya adalah hitung dulu di lapangan baru kemudian disampaikan KPU," katanya.
Penghitungan semacam ini bukan kali pertama digunakan. Pada Pemilu 2014 KPU melakukan mekanisme yang sama.
Hasyim mengatakan, pihaknya tak mungkin melakukan manipulasi hasil suara pemilu. Manipulasi hasil suara tak bisa dilakukan secara sepihak karena prosesnya sulit.
"Kalau misalkan pihak penyelenggara sendirian yang memanipulasi, itu hampir enggak mungkin. Jadi kalau memang mau manipulasi, harus berjamaah manipulasinya. Bersepakat untuk manipulasi, tapi apakah mungkin? Enggak mungkin," kata Hasyim di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2019).
Baca juga: KPU: Sulit Manipulasi Suara Hasil Pemilu
Manipulasi hasil suara sulit dilakukan karena jumlah partai politik peserta pemilu banyak. Jika ada setengah dari jumlah peserta yang diuntungkan, setengah peserta lain pasti tak mau terima.
Demikian pula dengan dua pasangan capres-cawapres dan calon anggota DPD, DPR, dan DPRD.
"Misalnya yang paling banyak Jawa Barat ada 50 calon, Sulawesi Tenggara ada 49 calon. Saya meyakini enggak mungkin orang kemudian bersepakat dalam arti bermufakat jahat untuk memanipulasi hasil penghitungan suara, itu enggak mungkin," ujar Hasyim.
Baca juga: KPU Laporkan 3 Akun Terkait Hoaks Setting-an Server ke Bareskrim
Pada prinsipnya, kegiatan pemungutan suara dilakukan secara terbuka, tidak tersembunyi, dan melibatkan banyak orang.
Hasyim justru berharap, seluruh pihak, tak hanya penyelenggara pemilu, tetapi masyarakat, pemilih, dan saksi-saksi, memantau pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
"Hal ini untuk menepis tuduhan-tuduhan ini yang sering kali dimunculkan bahwa ada manipulasi sehingga bisa kita cegah bersama-sama kalau ada orang yang berniat untuk melakukan manipulasi hasil penghitungan suara," ujar dia.
KPU resmi melaporkan hoaks setting-an server KPU di Singapura yang disebut memenangkan salah satu pasangan capres-cawapres ke Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/4/2019).
Baca juga: KPU Harap Pengadilan Beri Hukuman Setimpal pada Terdakwa Hoaks Surat Suara
Ketua KPU Arief Budiman dan para komisioner, yakni Ilham Saputra, Evi Novida Ginting Manik, Wahyu Setiawan, Pramono Ubaid Tanthowi, Hasyim Asy'ari, dan Viryan Aziz, mendatangi Bareskrim sekitar pukul 19.30 WIB.
"Kami merasa itu (hoaks) mengganggu kepercayaan publik terhadap KPU," ujar Arief setelah melakukan pelaporan.
Ada tiga akun media sosial yang dilaporkan terkait hoaks ini. Tiga akun tersebut teridentifikasi menyampaikan informasi yang tidak benar terkait KPU.
Baca juga: Bagus Bawana Didakwa karena Sebar Hoaks soal 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos
Namun, Arief enggan menjelaskan lebih detail akun media sosial siapa saja yang dilaporkan tersebut. Ia berharap pelaku yang menyebarkan hoaks tersebut bisa ditangkap.
Sementara itu, Direktur Penyidikan Direktorat Tindak Pidana Siber Polri Brigjen (Pol) Rachmad Wibowo menambahkan, hingga saat ini Bareskrim belum bisa memberikan banyak keterangan dan nomor laporan yang diajukan KPU.
"Sudah kami terima. Saya belum bisa memberikan keterangan apa pun karena belum melakukan pemeriksaan," ucap Rachmad.